Semester kedua sudah dimulai. Aku duduk di bangku depan, seperti setengah tahun sebelumnya. Dia tetap di sana, di bangku itu. Entah kenapa, seperti ada magnet yang terus menarik kedua bola mataku untuk melirik ke sana. Ketika dia keluar kelas, seluruh kelas terasa hambar. Ketika dia kembali, perasaanku seperti orang yang baru saja memenangkan lotere. Begitu seterusnya sepanjang hari.
Tapi, sekali lagi, aku mencuri-curi pandang kepadanya dengan cara yang intelek. Misalnya saja, ketika aku berbicara dengan temanku, aku sengaja mengambil posisi yang view-nya memungkinkan untuk melihatnya. Aku juga selalu menunduk, agar gerakan mataku tidak terlalu terlihat jika aku terpergok sedang memandanginya.
Begitu terus setiap hari. Lama-kelamaan, aku sadar bahwa aku tidak bisa mencintainya hanya dengan dengan memandanginya. Cinta itu bukan hanya pandang-memandang. Cinta yang sempurna itu bukan hanya perasaan yang dirasakan oleh satu pihak. Aku butuh tanggapan. Butuh interaksi. Dan main mata secara sembunyi-sembunyi seperti ini tidak akan mendapatkan tanggapan kecuali jika terpergok. Sedangkan aku tidak ingin terpergok, karena itu artinya aku akan terlihat tidak intelek. Terlihat tidak intelek sama dengan tidak intelek.
Pagi itu, setelah menimbang-nimbang lama sekali, akhirnya aku berani mengeluarkan sebuah pertanyaan."Bahasa Inggris-nya bukti apaan, sih?" tanyaku. Aku hanya berharap dia tidak diam seperti patung yang tidak bisa mendengar apa-apa. Setidaknya, ia memberi tanggapan meskipun hanya sebuah kedikan bahu.
"Mmmm, apa, ya? Davey, bahasa Inggris-nya bukti apaan, sih?" tanyanya.
"Evidence," jawab Davey cepat. Maklum, Davey pernah tinggal di Amerika beberapa tahun, jadi, masalah kosakata seperti itu bukanlah perkara yang sulit baginya.
"Arigato," jawabku, melirik kedua-nya. Dia membalas lirikanku dengan senyuman. Aku tidak percaya bahwa ia tersenyum kepadaku seolah-olah kami tidak pernah mempunyai masalah sebelumnya. Aku salah tingkah dan langsung membalikkan badan. Jika kau melihat mukaku hari itu, mungkin warnanya tidak akan jauh berbeda dengan kepiting rebus.
Aku mengatur napasku yang tersengal-sengal, jantungku yang berdebar-debar, tatapanku yang tiba-tiba liar dan nanar, hati yang makin bergolak, dan kaki yang serasa penuh tenaga untuk melompat sampai ke bulan. Mau tidak mau, harus kuakui bahwa aku menyukainya. Tanpa harus belajar mencintai.
Sekarang, akan kubagi secuil rahasiaku padamu. Selama hidupku, aku baru pernah menyukai orang tanpa harus belajar mencintai hanya satu orang. Itu sudah lama sekali. Saat itu, aku baru TK B, dan orang yang kutaksir adalah cowok tampan kelas 1 SMP incaran perempuan seluruh sekolah.
Setelah itu, aku selalu lari dari kenyataan bahwa aku masih menyukainya. Hari demi hari selalu kulalui dengan mencoba move on, mencari si dia, dia, dia, dan dia untuk pelarian. Pelarian itu akhirnya berhenti ketika aku menemukan Kamga...
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Aku, Kamu, Dia, dan Kita
RomancePilihannya hanya dua: menerima kenyataan bahwa dia telah memilih yang lain dan melupakannya, atau tetap hidup dalam bayang-bayang cinta yang semu. Tapi melupakan orang yang dicintai sama sulitnya dengan mengingat orang yang tidak pernah ditemui. Cer...