Bab 35: Harap-Harap Cemas

415 10 4
                                    

"Halo? This is Rene speaking," sapa suara di seberang sana.

"Hai, Ren. Ini gue, Ai," jawabku.

"Oh, ha-halo. Ada apa?" tanyanya. Kujamin, dia pasti sedang gugup sekali. Napasnya terdengar tersengal-sengal tak keruan. Aku mengulum senyumku. Huaaahh, yang lagi ditelepon gebetan...

"Lo punya Mission Impossible 4: Ghost Protocol, 'kan?" tanyaku, yang langsung dijawabnya dengan antusias. Aku tidak ingin menjadi seorang PHP (baca: Pemberi Harapan Palsu), jadi aku segera mengakhiri telepon begitu percakapan inti sudah selesai.

Tak lama kemudian, bel pintu kamarku berbunyi. Aku membukanya, dan sudah tahu pasti bahwa yang berada di depan pintu pasti Rene.

Eh?

"Adam?" tanyaku tak percaya.

"Kamu harus ikut ke rumah sakit," katanya.

"Ke... Kenapa? Kamu sakit? Siapa yang sakit?" tanyaku mulai panik.

"Aku pengen tes DNA," katanya, menarik lembut tanganku.

"Tapi, aku...," kataku, tapi segera kuputus karena aku juga menginginkan sebuah kepastian. Aku lalu menulis pesan kepada Rene, mengatakan bahwa aku tidak bisa menemuinya, dan mengarahkannya ke rumah temanku. Aku tahu dia akan kecewa, tapi aku juga tidak berjanji apa-apa, bukan?

Mobil BMW-nya melaju dengan cepat, menembus malam.

***

Kami sampai di sebuah rumah sakit. Aku tahu rumah sakit ini. Semua orang pasti tahu rumah sakit ini. Ini adalah rumah sakit yang sering digunakan keluarga presiden jika ada salah satu anggota keluarga mereka yang jatuh sakit.

Adam menggandeng tanganku, lalu berjalan ke arah lift dan berputar-putar entah kemana. Aku jarang kesini--karena kebetulan aku jarang sakit--jadi aku tidak hafal jalan mana yang harus diambil. Akhirnya kami sampai di sebuah ruangan. Entah ruangan apa namanya, aku tidak peduli. Di sana, tante Ira juga sudah menunggu. Ada segenap kebimbangan di matanya. Dia ingin lelaki yang berada di depannya ini adalah anaknya. Tapi di sisi lain, ia ingin menyatukan aku dengannya. Berkali-kali aku mendengar tante Ira mengetuk-ngetukkan ujung hak sepatunya ke lantai, tanda bahwa ia sedang gugup.

Sejujurnya, bukan hanya aku yang gugup. Aku bisa merasakan keringat di telapak tangan Adam, dan aku tahu bahwa ia sedang gugup. Jika Rene ada di sini dan tahu duduk permasalahannya, mungkin dia akan sama gugupnya denganku. Entah berapa lama aku bersandar di dada Adam dan tertidur. Aku baru menguasai diriku lagi setelah Adam membangunkanku.

Hasil tesnya baru bisa diambil esok pagi. Aku mengangguk, lalu naik ke BMW bersama Adam. Jujur, aku menginginkan Adam emnjadi keluargaku. Tapi bukan sebagai seorang sepupu. Apakah selama ini aku sudah salah berdoa?

***

Pagi itu akan datang. Aku memejamkan mata, takut menatap masa depan.

Aku, Kamu, Dia, dan KitaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin