Edited : July, 3rd 2019
***
UNTUK kesekian kalinya, Raka melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Decakan kesal terlontar dari mulutnya, karena sudah satu jam lebih ia menunggu di depan gedung serba jingga itu. Jika bukan karena Raka yang masih memiliki rasa tanggung jawab, sudah sejak tadi Raka meninggalkan tempat hina ini. Ya, tempat hina. Bagi Raka, apapun yang akan menambah waktu belajarnya seperti tempat bimbingan belajar di hadapannya ini, adalah hina.
Beberapa siswa dengan seragam putih biru seperti dirinya sudah mulai keluar dari tempat itu. Namun, sosok yang ditunggu-tunggu Raka tak juga muncul.
"Kalo sampe lima menit lagi dia gak nongol, udah njir. Gue...-nah, itu dia! Masih mau hidup juga tuh anak," umpat Raka, menunjuk ke arah pintu masuk.
Karena tingginya yang menjulang, anak laki-laki yang dicari Raka itu sangat mudah dikenali di antara banyaknya orang. Seorang gadis berjalan beriringan dengannya, sebuah buku catatan yang dalam keadaan terbuka di tangan kirinya. Wajah si gadis terlihat serius menyimak apaun yang dijelaskan lelaki itu, sedangkan tangannya terus bergerak, mengutip setiap hal yang dianggapnya penting.
"Dit, Adit!!" Raka berteriak, melambaikan kedua tangannya guna menarik perhatian Adit.
Gadis itu yang pertama kali mendengar teriakan Raka,. Disikutnya lengan Adit sebagai isyarat agarlelaki itu melihat ke arah temannya.
"Sini buruan!!" pekik Raka saat pandangannya dan Adit bertemu.
Seakan tidak peduli, Adit malah melanjutkan penjelasannya pada gadis itu, seperti taka da yang pernah menginterupsi sebelumya. "Iya, jadi lo tinggal pindahin aja x-nya ke kiri, habis itu,-"
"Udah, udah. Gue udah ngerti sampe situ, kok. Mending lo samperin temen lo deh, kasian. Mana mukanya serem gitu," sergah gadis itu, sembari menunjuk ke arah Raka.
Adit pun menoleh pada Raka yang berdiri di dekat pintu gerbang. Dan benar saja, wajah lelaki itu memerah dengan urat-urat yang menyembul di balik kulitnya. Bahkan Adit sempat berimajinasi, asap tebal mengepul dari ubun-ubun temannya itu.
Menghembuskan napas berat,Adit pun mulai melangkahkan kakinya mendekati Raka.
"Kenapa sih? Teriak-teriak mulu lo, gue malu diliatin!" ungkap Adit seraya menengok ke sekelilingnnya.
"Malu malu, maluan mana sama gue yang udah berdiri dari jam dua, nungguin lo di sini?!"
"Ya, kenapa gak duduk?"
"Serius Dit," balas Raka memasang ekspresi kesalnya.
Di saat betisnya berdenyut-denyut dan terasa pegal, berani-beraninya Adit mengajaknya bercanda.
Baru saja Raka akan melanjutkan aksi protesnya terhadap Adit, ketika ia menangkap sosok asing berdiri di sampping temannya itu, membuat kata-katanya tertahan.
Adit yang mengikuti arah pandang Raka pun ikut terheran, "Lho, Araa? Lo ngapain masih di sini? Katanya udah ngerti,"
"Gu-gue, gue...," Araa tergagap, "gue takut lo diapa-apain sama orang ini," lanjutnya berbisik, sambil menatap Raka takut-takut. Mendengarnya, Adit hanya bisa mengulum tawa, tak mau memancing emosi Raka lebih parah lagi.
Tapi tetap saja, Raka menyadari kalau mereka berbicara tanpa mengajaknya. Ia pun mengangkat sebelah alisnya lalu menatap Adit untuk meminta penjelasan.
Adit menggeleng pelan. "Kenalin temen les gue, Sahara. Sahara, ini Raka temen SD gue." Seperti perkenalan pada umumnya, Raka dan Araa pun berjabat tangan.
"Introduction done. Sekarang, balik ke topik. Kenapa lo baru muncul setelah satu jam, hah?"
"Satu jam?" ucap Adit nyaris seperti bergumam.
"Iya, jangan bilang lo lupa. Kan, kemarin lo yang nyuruh gue buat jemput!"
"Iya, terus?"
"Terus gimana? Plis Dit, stop berlagak polos. Muka lo tuh gak cocok. Jelas-jelas kemarin lo SMS gue, nyuruh jemput jam 15.00 dan sekarang,"-Raka melihat jam tangannya-"udah jam tiga lewat lima!" sembur Raka nyolot.
"Iya terus?"
"Teras terus teras terus! Lo sadar gak sih, lo nyuruh gue datang jam 15.00, tapi lo baru muncul jam tiga lewat lima?!" gerutu Raka kesal, mulai menunjuk-nunjuk Adit menggunakan jari telunjuknya.
Dan saat itu juga, Araa gagal membendung tawanya. Tawanya yang menggelegar sempat terdengar beberapa detik sebelum Raka membungkamnya dengan tatapan tajam.
"Hah?" ucap Araa, berusaha memasang wajah sepolos mungkin.
Raka mengembalikan tatapannya pada Adit, tak berniat meladeni gadis bernama Sahara itu.
"Biar gue lurusin ya, Ka. Bukan salah gue kalo lo gak bisa baca jam dengan format 24 jam. 15.00 itu jam tiga, dan sekarang itu masih jam tiga lewat delapan. See?" ucap Adit puas, sambil tersenyum geli.
Penjelasan Adit, mampu memancing tawa Araa kembali hadir. Sontak wajah Raka memerah. Araa tertawa histeris hingga tak sadar memukuli lengan kiri Adit. Diam-diam Raka meringis, membayangkan lebam yang akan muncul di lengan Adit.
"Adit?" suara lembut seorang gadis menginterupsi tawa Sahara.
Adit segera menegakkan tubuhnya. "Dita? Kamu dari mana?" tanyanya setelah melihat gadis si pemilik suara tersebut dengan jelas.
"Habis ambil baju Mama dari tukang jahit sebelah," jawab Dita, menunjuk tukang jahit yang kebetulan memang bersebelahan dengan tempat les Adit.
Dita, satu-satunya yang tidak memakai seragam sekolah di antara mereka, menyapa Raka dan Araa, teman-teman pacarnya yang sudah ia kenal dari beberapa pertemuan berbeda sebelumnya.
Adit melirik tempat jahit itu sebelum kembali pada Dita. "Terus pulang naik apa?"
"Jalan."
"Jalan kaki sejauh itu sambil bawa kain?" Tanya Adit, menatap ngeri pada plastik berwarna putih itu, apalagi mengingat tubuh Dita yang rentan sakit.
Dita tersenyum lalu mengangguk beberapa kali.
"Ya udah, aku anterin aja. Ka, kunci motor," pinta Adit, mengulurkan tangannya.
Raka yang tengah memijat betisnya dengan posisi badan membungkuk, mendecak protes, "Lah, kok gue?"
"Siapa suruh lo ngerusakin motor gue?"
"Kan, kan, dia mah gitu sukanya ngungkit yang lalu lalu," ucap Raka memasang ekspresi tersakitinya.
Adit tak menjawab, namun melemparkan tatapan tajamnya pada Raka.
"Iya iya," sungut Raka, melemparkan kunci motornya kepada Adit.
Setelah berpamitan, Adit dan Dita pun berjalan ke tempat parkir. Motor Raka terparkir paling depan, sehingga mudah bagi keduanya untuk menemukan motor bebek itu.
Suara mesin motor mulai terdengar dan tak lama setelah itu Adit mulai menjauh, membawa motor Raka meninggalkan area parkir.
Tatapan Raka dan Araa tak lepas dari motor itu, memperhatikannya dengan seksama hingga Dita dan Adit lenyap ditelan keramaian Kota Bandung.
Baik Raka maupun Araa, tidak ada yang berbicara setelah itu. Keduanya sama-sama diam, memikirkan apa yang harus dilakukan untuk memecah keheningan.
"Mau gue anter?" tawar Raka, setelah perdebatan dengan batinnya sendiri.
"Thanks, tapi kan motor lo dibawa Adit."
Then the story begins...
***
July, 26th 2016
Love, platypus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite