28. Fifty Shades of Adit

1.5K 134 5
                                    

Edited: July, 28th 2019

***

BELUM ada komunikasi yang terjalin lagi antara Adit dan Araa semenjak kejadian di rumah Araa, beberapa hari yang lalu.

Sebenarnya, Adit sudah berniat untuk meminta maaf pada Araa, tapi takdir berkata lain. Sepanjang minggu ini, sekali pun Adit tak pernah menemukan celah untuk berbicara pada Araa. Adit enggan membicarakannya melalui benda canggih yang sudah ditemukan pada tahun 1973 oleh Martin Cooper, atau yang sekarang dipanggil dengan sebutan handphone. Menurutnya itu terkesan tidak sopan dan yang paling penting, tidak gentle.

Pada awalnya Adit berpikir akan mudah baginya untuk meminta maaf pada Araa mengingat mereka berada dalam satu kelas yang sama. Namun nyatanya, semua itu tak segampang yang Adit bayangkan. Setiap bel istirahat berkumandang, Araa langsung melesat meninggalkan ruang kelas, bahkan sebelum Adit sempat menyadarinya. Hal yang sama terjadi pula ketika waktu pulang tiba.

Alih-alih tetap menjalankan rutinitas belajar bersama di rumah Araa, Adit malah langsung pulang ke rumah. Perilaku Araa yang terkesan menghindar, membuat Adit ragu untuk datang ke rumah Araa saat itu. Aneh saja rasanya. Setelah membentak Araa, dua hari berikutnya ia kembali datang ke sana tanpa ada konfirmasi dari Araa. Di samping itu Adit ingin memberikan kelonggaran bagi Araa untuk menenangkan diri atas perlakuan kasarnya beberapa hari yang lalu. Sungguh, Adit benar-benar menyesali itu semua. Adit terbakar emosi, dan ia merutuki dirinya sendiri untuk hal itu.

Maka dari itu hari ini dengan atau tanpa izin Araa, Adit akan tetap mendatangi rumahnya seperti biasanya. Cukup sudah Adit membiarkan rasa bersalah bertahan dalam dirinya.

Raungan bel favorit yang diidam-idamkan oleh siswa kebanyakan menyeret Adit dari dalam lamunannya. Untuk pertama kalinya, seorang Aditya Dirgantara tidak fokus memperhatikan pelajaran. Ia saja tidak menyadari kapan tepatnya guru bidang studi geografi meninggalkan kelasnya.

Menyadari sesuatu, mata Adit langsung melayang pada bangku yang terletak dua meja dari depan di barisan tengah. Lagi-lagi ia kecolongan. Araa sudah melenggang dari kelas, tanpa sepengetahuannya.

Adit mengusap wajahnya, menghela napas kasar lagi. Adit mengingat kejadian tadi siang, saat Araa ditugaskan untuk membagikan lembaran soal latihan oleh Pak Lukman, guru ekonomi. Gerak geriknya kaku, kepalanya menunduk dan matanya tak mau bersitatap dengan bola mata milik Adit. Walau sudah diberikan waktu sendiri oleh Adit, Araa masih belum bisa juga memaafkannya.

"Bro, gue duluan." Adit menoleh ke arah suara itu.

Di sana Bimo berdiri dengan tas yang salah satu talinya sudah tergantung di bahu sebelah kanannya.

Adit mengangguk.

Serta merta Adit menjejalkan buku pelajaran yang tersisa di atas mejanya ke dalam tas, dan akhirnya menjadi penghuni paling terakhir yang meninggalkan ruang kelas.

Apa pun yang terjadi Adit akan meminta maaf pada Araa hari ini juga.

***

Adit memutar kunci kontaknya dan segera suara deru mesin pun tak terdengar lagi. Adit memasang standar motor lalu membuka helm full-face miliknya, sebelum mengetuk pintu rumah Araa. Sesuatu yang baru Adit lakukan, mengingat selama ini Araa datang bersama dengan dirinya, kalaupun tidak Araa sudah membukakan pintunya lebar-lebar.

Tak memerlukan waktu lama, seseorang membukakan pintu itu.

"Eh, Mas Adit dateng lagi. Ayo masuk Mas, biar saya panggilin Non Araa-nya," ucap Bi Santi dengan ramah.

Adit membalas senyuman itu, dan tanpa ragu melenggang masuk ke dalam rumah Araa.

Sesuatu yang selalu menjadi perhatian Adit setiap kali berkunjung adalah keberadaan sebuah lukisan khas Bali, lukisan Kamasam, yang cukup besar, terletak di atas sofa berwarna putih. Lukisan itu bertema pewayangan, alur ceritanya pun diambil dari cerita pewanyangan. Warnanya sederhana tetapi mencolok, memberikan kesan indah sekaligus menegaskan cerita yang ingin ditampilkan oleh sang pelukis.

Aftermath [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang