Edited: July, 5th 2019
***
MELALUI mulut, Raka menghembuskan asap rokok yang dihisapnya ke udara bebas.
Di sini, di taman belakang sekolah, Raka sendirian hanya ditemani oleh sekotak rokok dan pemantik apinya.
Tidak, Raka tidak akan membakar dan menghisap semua rokok itu sekarang. Ia hanya menyediakannya jika sewaktu-waktu ia bosan, atau malas mengikuti pelajaran. Seperti sekarang ini.
Jarang sekali siswa berkunjung ke tempat ini, kecuali Raka.
Raka tidak takut ketahuan oleh guru. Tidak sama sekali. Bahkan seringkali Raka membayangkan menghisap rokoknya di kantin atau di lorong kelas. Di kantin ia bisa merokok di atas kursi yang nyaman, ditemani sepotong gorengan dan juga segelas teh. Betapa Raka ingin melakukan itu, tapi ia tidak bisa. Menurutnya saat ia merokok di keramaian, ia tak hanya merugikan dirinya sendiri, tapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Apalagi semenjak guru Biologinya mengatakan perokok pasif jauh lebih berbahaya daripada perokok aktif, Raka jadi semakin berhati-hati.
Kalau pun Raka takut ketahuan oleh guru, itu bukan karena ia takut kepada hukuman. Yang ia takutkan adalah jika kabar ia merokok, sampai di telinga ibunya.
Raka merasa malu. Karena dulu, ialah yang terus menasehati ibunya agar berhenti menjadi seorang perokok. Sampai akhirnya ibunya berhasil lepas dari belenggu rokok. Tapi sekarang, malah ia yang justru tercandu oleh racun hisap itu.
Tak bisa dipungkiri, rokok memang menenangkan bagi orang yang sedang hilang kendali dan pengisi waktu luang saat seseorang tengah dalam titik jenuhnya.
Bel istirahat berbunyi, ketika rokok Raka tinggal setengah. Mengingat ia berniat untuk menemui seseorang, Raka segera menghisap rokoknya untuk yang terakhir kali, sebelum menjatuhkan puntung rokok itu dan mematikannya dengan cara menginjaknya.
Raka merogoh saku celana abu-abunya, mencari permen mint yang selalu tersedia di sana. Permen itu berguna untuk menyamarkan bau asap rokok di mulutnya. Tanpa menunggu lama, bau asap rokok pun tergantikan oleh aroma mint dari permen itu. Setelah itu, barulah Raka melangkah meninggalkan taman belakang sekolah.
Raka terus menyusuri koridor sekolah, dengan satu tangan memasuki saku celana, sementara tangan lainnya memegang benda persegi panjang berwarna hitam.
Ponselnya.Sambil berjalan, Raka mengamati orang-orang yang tengah bermain basket di lapangan. Dengan mudah, Raka mengenali teman sebangku sekaligus sahabat karibnya di antara anak-anak lelaki bercelana abu itu.
"Ka, basket?" teriak Fauzan, orang yang diperhatikan Raka sedari tadi.
"Ogah ah, udah pasti gue yang menang," Raka balas berteriak juga, dengan senyum angkuhnya.
Di seberang sana, Fauzan dan lima orang lainnya, berakting muntah tepat setelah Raka mengakhiri kalimatnya.
"Jijik, baru bisa dribble kemaren sore aja songong!" ledek Fauzan, membuat Raka terkekeh.
Raka tahu betul Fauzan sedang mencoba mengelak dari kenyataan bahwa kemampuan basket Raka memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Fauzan. Apalagi ketika lapangan dipenuhi banyak gadis seperti sekarang ini, tentu Fauzan harus menjaga image-nya.
Tiba-tiba ide jahil Raka menyeruak ke permukaan, ketika Raka melihat seorang perempuan dengan jam tangan berwarna pink, berdiri tak jauh darinya. Amel, perempuan penghuni kelas sebelah yang disukai Fauzan.
"Setidaknya gue udah disunat," jawab Raka.
"Lah?" Ojan atau Fauzan, menatap Raka heran sambil mencoba menahan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite