Edited: July, 29th 2019
***
"GUE bisa, gue bisa. Gue gak butuh bantuan lo, gue bisa,"
"Tapi Ra—"
"Gue bisa," lirih Araa.
"Bukan, gue—"
"Gue bilang bisa Adit! Gu—"
"Ra, gue minta maaf," ucap Adit, memotong perkataan Araa begitu saja.
Entah kenapa, pernyataan Adit malah membuat bendungan air mata Araa tak tertahankan lagi. Bagai keran yang diputar, aliran airnya mengalir deras membasahi pipi Araa.
Seperti saat kecil dulu, Araa bahkan terisak dan kedua bahunya naik turun tak karuan.
Rasanya seluruh beban di pundak Araa terangkat, perasaan lega meliputi tubuhnya dengan hebat.
Beberapa hari ini Araa memang banyak pikiran menuju kepada stres. Entah kenapa, Araa langsung berpikiran negatif, menyambungkan semua hal yang menimpanya belakangan ini dan pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri.
Berawal dari Bu Sukma yang mengatakannya bego, ibunya Raka yang tiba-tiba saja berubah dingin padanya dan yang terakhir, Adit, tutor yang bersedia untuk mengajarinya pun ikut-ikutan mengatai Araa bodoh.
Seburuk itukah Araa?
Jujur saja, Araa tidak tahu mana yang lebih buruk, dikatai Bu Sukma, diperlakukan dingin oleh Tante Marissa atau melihat wajah lelah Adit mengajari dirinya.
Dalam kata lain Bu Sukma sudah mempertanyakan kemampuan akademik Araa yang tentu saja berpengaruh dengan masa depannya nanti, Tante Marissa menatapnya tak bersahabat, bukan berarti Araa merencanakan apapun yang serius dengan Raka dalam waktu dekat ini—ah, pacaran saja mereka belum—tapi tetap saja perubahan sifat tante Marissa yang drastis menciptakan tanda tanya yang besar dalam benak Araa. Bu Sukma tidak bercerita kan, Araa bodoh matematika sehingga Tante Marissa ilfeel padanya?
Air mata Araa terus mengalir dan isakannya semakin tidak terkontrol. Araa bukan anak yang cengeng hanya saja batinnya sudah tidak mampu lagi menahan semua beban yang ia pendam selama ini. Semua tembok yang ia bangun untuk membentengi dirinya hancur tak bersisa.
Entah sejak kapan, namun Adit sudah berada di sebelah Araa sekarang sambil berlutut dan gerak-geriknya begitu canggung. Laki-laki itu bingung harus melakukan apa pada Araa yang sedang menangis tersedu-sedu. Adit tidak tahu masalah Araa yang lainnya, yang ia tahu Araa menangis karena dirinya.
Terbawa perasaan, Araa tiba-tiba menyenderkan kepalanya ke bahu Adit, melanjutkan tangisnya di bahu kokoh Adit.
Adit tersentak, tubuhnya menegang. Dari atas, ia menatap Araa dengan mata yang membelalak lebar. Adit tidak pernah memeluk perempuan yang bukan siapa-siapa seperti Araa!!
Ekspresi Adit yang terkejut perlahan berubah menjadi merasa bersalah bercampur iba. Kalau saja Adit bisa menjaga mulutnya beberapa hari yang lalu, pasti semua ini tak akan terjadi. Dalam hatinya, Adit tiba-tiba berjanji, akan bersikap lebih hangat kepada Araa.
Perlahan namun pasti, tangan kiri Adit naik hendak merangkul bahu Araa. Tak ada maksud apa-apa, hanya ingin membuat Araa nyaman mengeluarkan semua yang mengendap dalam hatinya.
Namun belum sempat tangan Adit menyentuh bahu Araa, gadis itu sudah menegapkan tubuhnya membuat Adit urung, tangannya kembali turun ke tempat semula.
"So-sori, Dit. Gue jadi gak jelas gini," ucap Araa, menghapus bekas-bekas air mata dari wajahnya dengan cepat.
"G-gak pa-pa, santai aja," balas Adit, entah kenapa ikutan gugup. Ini semua pasti karena Adit hampir ketahuan hendak merangkul Araa, Adit bodoh! "Justru gue yang harusnya minta maaf. Maaf buat ehm, buat kata-kata gue tempo hari, gue udah kelewatan Ra,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Dla nastolatkówIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite