Edited: August, 28th 2019
***
ADIT melangkahkan kakinya ke ruang makan, setelah ibunya memanggil.
Adit sedikit terkejut mendapati ayahnya hadir makan malam di rumah hari ini. Pasalnya sudah dua hari ini ayahnya selalu pulang larut malam dari kantor karena ada sesuatu hal yang katanya harus diurus. Adit tidak tahu apa, tapi yang jelas itu bukanlah sesuatu yang baik.
Adit terperangah melihat keadaan ayahnya yang acak-acakan. Kantung mata yang besar, wajah kusut serta dasi yang sudah longgar membuat ayahnya tidak terlihat seperti ayahnya yang biasa.
Segera, Adit duduk dikursinya yang biasa. Cia yang normalnya akan memilih duduk di sebelahnya kini sudah mengambil posisi di sebelah Hanna. Adit mendesah, merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol emosinya. Sudah beberapa kali Adit meminta maaf pada Cia, namun keponakannya itu tetap saja ragu untuk kembali dekat dengan Adit.
Makan malam berjalan dengan sunyi. Cia yang biasanya meramaikan meja makan dengan celotehannya, kini hanya diam sambil disuapi oleh Hanna.
Selain itu, ayahnya juga terlihat tidak dalam suasana hati yang baik.
Terasa begitu kontras dengan Adit yang begitu bahagia akhir-akhir ini. Pasalnya, lelaki itu sudah berbaikan dengan Araa, ia sudah kembali berkomunikasi dengan Araa di sekolah dan bertukar pesan dengan gadis itu di rumah.
"Dit, kamu masih sama Dita?" tanya Galih, ayah Adit, sembari meletakkan garpu dan sendok bersilangan dalam keadaan membalik di atas piring.
Adit yang ditanya sempat tersedak kecil oleh nasi yang masuk ke kerongkongannya. Adit berdeham sebentar, untuk menghilangkan rasa gatal yang tercipta.
Pertanyaan dari ayahnya itu seakan mengingatkan Adit. Apakah hubungan dirinya dengan Dita masih pantas untuk dipertahankan dengan dirinya yang bahkan mengakui memiliki perasaan lebih daripada teman pada perempuan lain?
"Dit," panggil Galih lagi, menyadarkan Adit dari titik terdalam pikirannya.
"Ehm, masih Pa,"
Jujur, Adit sudah berencana untuk menyudahinya saja. Ia hanya tidak mau membuat Dita sakit nantinya, jika semua ini ditunda-tunda lalu Dita mengetahuinya dari orang lain. Lagi pula Adit memiliki firasat Dita juga sudah tidak menyukainya lagi. Entahlah, semuanya sudah terasa berbeda sekarang.
"Kenapa, Pa?" sambung Adit, ingin tahu mengapa ayahnya itu masih sempat-sempatnya menanyakan soal hubungan anaknya pada kondisi seperti ini.
"Papa minta tolong, undang keluarganya makan malam. Siapa tahu, papanya Dita bisa menolong Papa."
Serta merta, tiga hal mendatangi pikiran Adit dalam waktu yang bersamaan.
Pertama, Adit jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di hotel ayahnya itu sampai-sampai membutuhkan ayah Dita yang seorang pengacara.
Kedua, kalau begini keadaannya Adit tidak bisa memutuskan hubungannya dengan Dita dalam jangka waktu dekat ini. Karena itu akan terlihat kurang ajar dan tidak tahu malu. Bukannya Adit ingin memanfaatkan Dita, hanya saja coba pikir, keadaannya pasti akan canggung jika mereka bertemu lengkap dengan keluarga masing-masing di saat mereka berdua baru saja putus.
Ketiga, apa yang akan Araa pikirkan tentang dirinya? Adit dan Araa sudah cukup besar untuk mengerti, walau tanpa saling mengucapkan, kalau keduanya memiliki perasaan lebih terhadap satu sama lain.
Namun lihat apa yang terjadi sekarang. Adit harus menunda dan menggantungkan Araa.
"Bagaimana, Dit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Fiksi RemajaIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite