4. Terpaksa

3K 287 34
                                    

Edited: July, 5th 2019

***

BERTEPATAN dengan bunyi bel, guru geografi yang terkenal galak dan disiplin itu, berjalan keluar meninggalkan kelas. Secara serempak, siswa di kelas sosial itu menghela napas lega.

Hanya dalam hitungan detik, atmosfer di kelas kembali santai—bahkan terlalu santai—seperti biasanya. Tidak lagi sesak dan penuh tekanan.

Beberapa anak laki-laki mulai beranjak dari tempat duduk mereka dan duduk di atas meja. Anak perempuannya langsung berbicara dengan teman sebangku dan tak sedikit yang pergi dari ujung ke ujung hanya untuk mengobrol.

Hanya beberapa dari 39 siswa itu yang tetap diam dan mengulangi pelajaran tadi, menunggu hingga guru mata pelajaran selanjutnya tiba di kelas.

Di saat teman-temannya asik bercengkrama, Aditya Dirgantara, malah sibuk membaca buku matematika kelas XII. Iya, dia masih kelas XI dan itulah mengapa pengetahuan Adit selalu satu tingkat di atas teman-teman sekelasnya.

Adit merupakan salah satu dari deretan siswa terpintar, di SMA Trisakti. Tahun lalu, Adit mendapat peringkat pertama di kelasnya, dan peringkat ketiga di seluruh angkatannya. Dan bisa dipastikan hal yang sama akan terjadi tahun ini. Atau mungkin lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Sudah menjadi rahasia umum kalau anak dengan otak cemerlang akan memilih untuk masuk jurusan IPA, dan karena itu juga banyak guru yang bertanya mengapa Adit tidak mengambil pilihan yang sama.Tapi Adit memiliki alasannya sendiri, ia bercita-cita untuk melanjutkan bisnis Ayahnya dalam bidang perhotelan, dan Adit tahu mempelajari anatomi tubuh manusia ataupun jenis-jenis atom di udara, tidak akan membantu banyak dalam mengembangkan bisnis keluarganya.

Kegiatan Adit harus terhenti, ketika ia menyadari seorang perempuan duduk di bangku yang berada tepat di sebelahnya. Perempuan itu hanya tersenyum lebar, memamerkan giginya. Senyuman itu, dari senyumannya saja Adit sudah bisa menebak jika perempuan itu ingin meminta sesuatu.

Adit mengangkat sebelah alisnya, malas mengeluarkan suara. Bukannya langsung menjawab, perempuan itu malah cengengesan tidak jelas.

Adit menghela napas beratnya, menutup buku matematikanya.

"Ada apa Ra?"

"I-ituloh, aduh gimana yah bilangnya sama lo?" ujar Araa gelagapan. Sementara cengiran buatannya, terus melekat di wajahnya yang oval.

Dengan wajah tampannya, Adit tetap menatap Araa dingin, tak merespon ucapan gadis itu sama sekali.

"Ehm, oke. L-lo mau gak bantuin gue ngerjain 50 soal matematika yang dikasih minggu lalu itu? Gue belom, soalnya akhir-akhir ini gue sibuk rapat OSIS," jelas Araa memasang wajah melas sambil mengumpat mengenai rapat OSIS kemarin.

Sebagai anggota OSIS tahun lalu, ia harus ikut pemilihan pengurus OSIS tahun ini.

"Kenapa harus gue?"

"Karna gue tau lo jago matematika."

"Tuh, Farah juga bagus matematikanya." Adit menunjuk Farah, menggunakan dagunya.

Araa menggelengkan kepalanya cepat. "Gue maunya sama lo, soalnya dari dulu lo selalu ngasih tau cara simpelnya. Mau ya? Plis." Araa menyatukan kedua telapak tangannya, meletakannya di bawah mulut.

Lagi, Adit menghembuskan napas berat. "Kapan?"

"Besok! Di rumah gue, pulang sekolah. Gimana?" jawab Araa lengkap, dengan keantusiasan yang sangat kentara.

"Di rumah lo?" tanya Adit syok, kepalanya menggeleng secara otomatis. "Mending lo cari orang lain aja," lanjutnya, berniat kembali membuka buku matematika yang ia tutup beberapa menit yang lalu.

Aftermath [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang