Edited: July, 10th 2019
***
ATMOSFER kantin terasa sesak dan ramai, tidak seperti keadaan meja yang diduduki oleh Araa, mengingat hanya dirinya seorang di meja itu. Araa benar-benar merasa kesepian disaat suasana di sekitarnya begitu ramai. Tadinya Araa memang bersama Afaf dan Tyas tapi keduanya meninggalkan Araa dikarenakan Pak Asi menugaskan mereka berdua untuk mengoreksi ulangan sejarah seminggu yang lalu, sebagai hukuman karena Afaf dan Tyas terlambat sepuluh menit di jam pelajarannya.
Araa sudah memohon-mohon pada Pak Asi untuk diperbolehkan ikut mengoreksi, agar dirinya tak perlu merasakan bagaimana rasanya sendirian. Sangat disayangkan rasa keras kepala guru sejarahnya itu, tidak dapat dilawan oleh apapun. Jika saja tadi Afaf dan Tyas dipanggil sebelum mereka turun, tentu Araa akan lebih memilih untuk menyendiri di kelas saja.
Sekarang Araa sudah berada di posisi serba salah. Ia tidak mau sendirian di kantin, tapi juga sudah terlalu malas untuk berjalan ke kelas.
Beruntung Raka datang disaat yang tepat, sebelum Araa benar-benar tenggelam dalam lautan kesepian.Seakan ada magnet raksasa yang menariknya untuk mendekat, mata Raka menangkap Araa yang tengah duduk sendirian.
Sepertinya takdir menyukai setiap pertemuan Raka dan Araa. Bayangkan saja di antara ratusan manusia yang mengunjungi kantin, Raka dan Araa masih dapat bertemu dan duduk di satu meja yang sama tanpa suatu kesengajaan. Dan Araa merasa lega, setidaknya sampai masuk nanti ia tidak perlu kebosanan karena duduk sendirian.
Awalnya rasa lega itu tidak mau menghampiri Araa, karena Araa takut susana canggung akan mendominasi. Tapi nyatanya, semua obrolan mengalir begitu saja. Ya walaupun pada lima menit awal kecanggungan menguasai keduanya. Araa dan Raka bahkan mengawali pembicaraan dengan 'hai, apa kabar?' terdengar sedikit aneh memang, mengingat tadi pagi mereka sempat bertukar sapa.
"Gue mau nanya, motif lo masuk IPA apa coba?" Araa mengungkapkan pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya. "Maksud gue, ngitung kecepatan peluru, massa galaksi. Lo gak pusing gitu? Atau ngerasa kalo selama ini lo hanya buang-buang waktu lo," lanjutnya memasang wajah jijik, jika mengingat soal fisika sepupunya yang ia baca beberapa hari yang lalu.
"Hasil tes psikotes gue bilang kalo gue itu masuk IPA, dan karna gue tipe orang yang go with the flow ya jadi gue turutin," ucap Raka dengan ekspresi tengilnya.
Jika saja Afaf dan Tyas sudah kembali dari masa hukuman, Araa akan pergi meninggalkan Raka, takut dirinya tidak dapat menahan hasrat untuk memukul Raka karena wajah tengilnya itu. Araa seperti melihat wajah adiknya.
"Bahasa lo," ejek Araa.
Raka terkekeh, melemparkan pandangannya ke arah lain. Enam meter dari meja mereka, Raka melihat sosok yang paling tersohor di kantin karena kelakuannya yang tidak pernah lazim.
Aris, anak ibu kantin, sedang duduk di salah satu meja dengan satu piring nasi yang terlihat masih panas, ditandai dengan kepulan asap di atasnya.
Merasa ini akan menjadi tontonan yang bagus, Raka memberi isyarat pada Araa agar Araa turut bergabung menonton dengannya.
Setelah berdoa, Aris mengambil nasi dari piring berwarna biru muda menggunakan tangannya. Mulutnya mengaduh kepanasan, karena kurang berhati-hati. Dengan beberapa nasi yang menempel, ia memasukan tangannya ke dalam mangkuk yang berisi air mentah untuk mencuci tangan. Menggoyangkannya beberapa kali membuat nasi-nasi yang menempel terlepas begitu saja. Tak berhenti di situ, Aris mengumpulkan nasi-nasi yang menggenang di mangkuk tersebut lalu dengan santai menyuapkannya lagi ke dalam mulut.
Raka dan Araa diam seribu bahasa. Keduanya memikirkan satu hal yang sama.
"Aneh banget anjir."
"Gak ada otaknya sumpah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite