Edited: July, 7th 2019
***
DITA menyalakan layar ponselnya, dan melihat sebuah pemberitahuan dari LINE. Melihat nama yang tertera, dengan semangat Dita membukanya.
Aditya Dirgantara : jangan keluar dulu, aku mau ke sana.
Pesan sederhana, yang entah mengapa mampu mencetak sebuah senyuman di wajah Dita. Dita mulai menggerakkan jarinya, berniat membalas pesan singkat itu.
Nindita Pratama : okay :)
Dita memasukan ponsel itu ke dalam saku kemeja putihnya, sebelum memindahkan sisa buku yang berada di atas meja, ke dalam tasnya.
Setelah itu, tanpa mengendurkan tarikan di kedua ujung bibirnya, Dita menggendong tas punggungnya, walaupun dirinya masih enggan untuk beranjak dari bangkunya.
Senyuman itu semakin mengembang saja, saat Dita jadi teringat segala perlakuan manis yang pernah Adit lakukan padanya. Apapun yang Adit lakukan, sekalipun itu terlihat sederhana—seperti saat ini, Adit menjemput Dita di kelas—Dita akan selalu menyukainya.
"Oi, Ta lo sehat? senyum-senyum sendiri gitu." Seorang anak perempuan yang duduk tepat di sampingnya, menegur Dita dengan pandangan heran bercampur ngeri. Dita hanya tersenyum, menggeleng pelan. "Mau keluar barengan?" katanya lagi.
"Nggak usah Fi, Adit mau jemput ke sini," jawab Dita, membuat Nafia yang awalnya tidak tahu mengapa Dita senyum-senyum sendiri, akhirnya mengerti.
"Ah, pantesan cengengesan mulu dari tadi, pacarnya mau nyamperin," ujar Nafia terkekeh sendiri, entah karena apa. "Ih, lucu banget sih, kalian. Kapan coba gue nemu cowok kayak Adit?" canda Nafia, dengan wajah yang sengaja dibuat cemberut.
"Ah, bisa aja lo. Gue doain deh, lo nemu yang kayak Adit. Tapi jangan Aditnya lho, ya," balas Dita, ikut bercanda. Nafia terkekeh, sebelum mengacungkan jempolnya dan melupakan drama singkat mereka tadi.
"Eh, gue duluan ya. Dadah Dita!"
"Hati-hati, Fi."
***
Sepulang sekolah. Araa menunggu Adit, di tempat parkir sesuai dengan janji yang mereka buat kemarin.
Entah apa alasan Adit menyuruh Araa menunggu di parkiran, mengingat mereka satu kelas. Tapi Araa tidak mau mengambil pusing. Ia sudah cukup lega dan bahagia karena ia tak perlu merusak otaknya dengan mengerjakan 50 soal matematika sendirian.
Setelah lima menit Araa menunggu sambil memainkan tali tas ranselnya, barulah Adit menunjukan batang hidungnya. Dalam hatinya, Araa mengucap syukur, karena ia memang sudah bosan menunggu.
Jika saja Adit tidak datang, Araa akan pulang menggunakan angkot dan mengirimkan alamatnya kepada Adit, agar Adit menyusul saja ke rumahnya.
Satu pertanyaan, oh, ralat. Beberapa pertanyaan muncul di benaknya, ketika Araa menyadari Adit tidak sendirian. Adit berjalan bersama Dita, sang kekasih.
Adit dan Dita tengah tertawa bersama, dengan mata yang menyipit menjadi sebuah garis. Araa tidak tahu pasti apa yang sedang mereka tertawakan, tapi yang jelas itu pasti sesuatu yang sangat lucu. Araa bisa jamin itu.
Karena jika tidak, patung bernapas seperti Adit tidak mungkin tertawa seheboh itu.
Adit dan Dita terlihat begitu cocok. Sejenak, Araa lupa dengan tujuannya menunggu Adit. Oh, lihat, bahkan nama panggilan mereka memiliki komposisi huruf-huruf yang sama. Hanya saja letak susunanya yang berbeda.
Ketika Adit dan Dita sudah mendekat, Araa seakan diseret lagi ke dunia nyata. Adit yang heran menemukan Araa di parkiran, menautkan kedua alisnya sebelum bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Novela JuvenilIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite