Edited: August, 26th 2019
***
DITA membolak-balik novel di pangkuannya, merasa frustasi karena tak kunjung bisa masuk ke dalam cerita tersebut. Padahal, bukankah dengan keadaan kelas yang sepi seharusnya mampu mempermudah Dita untuk menikmati alur ceritanya?
"Lo kenapa sih, Ta? Gelisah amat," tanya Nafia yang duduk tepat di sebelah kanan Dita.
Dita tersenyum tipis. "Gak apa-apa."
Nafia memutar bola matanya, mengetahui kalau sahabatnya itu tengah berbohong.
Dalam beberapa hari ini Dita selalu gelisah, risau dan tak pernah terlihat tenang sedikit pun. Tak jarang pula Dita berdecak tiba-tiba tanpa sebab.
Dan hari ini, Nafia sudah lelah melihat sahabatnya bertingkah seperti itu, membuat dirinya yang sebenarnya juga tengah banyak pikiran, menyempatkan diri untuk menanyakan keadaan Dita.
"Ta—"
"Eh, gue ke kamar mandi dulu ya, Fi. Kebelet nih," izin Dita yang dapat merasakan Nafia akan menginterogasinya.
Dengan kening yang berkerut cemas, Nafia menyaksikan Dita melangkah dari kelas. Dalam hatinya Nafia berharap apa yang ia pikir adalah sumber kegelisahan Dita selama ini, salah. Sungguh, Nafia hanya ingin yang terbaik untuk Dita.
Toilet dalam keadaan kosong ketika Dita tiba di sana. Berjalan lurus, Dita langsung menuju wastafel lalu mulai membasuh wajahnya dengan air. Berharap kegelisahannya ikut hanyut terbuang bersama tetesan air.
Dita menatap pantulan dirinya melalui kaca, melihat dengan jelas wajahnya yang benar-benar terlihat berbeda hari ini. Wajahnya terlihat kusam, padahal Dita yakin ia tak pernah lupa memoleskan tabir surya dan juga pelembap wajah tiap harinya.
Ternyata yang orang katakan itu benar, banyak pikiran dapat membuat kulit kusam bahkan lebih parah, mempercepat penuaan.
Dita mengusap wajahnya lembut sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk mematikan keran air.
Sekarang, Dita dan seluruh anak perempuan di kelasnya sedang menikmati jam kosong karena anak laki-laki sedang ujian prakarya mengenai correl draw di lab komputer. Namun sungguh, ini adalah jam kosong terburuk yang pernah Dita alami. Selama ia bersekolah tidak pernah Dita berharap jam kosong segera berakhir seperti saat ini.
Kegusaran Dita sedari tadi terjadi karena pergolakan batin yang tengah menimpanya saat ini. Dita dilema, apakah ia akan turun ke bawah dan menunggu Raka—lelaki yang selama ini menjauhinya entah karena apa—keluar dari lab komputer atau duduk diam saja di kelas, menunggu masalah ini hilang ditelan waktu.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Dita uring-uringan mengenai mengajak pria itu berbicara empat mata. Sehari setelah Raka menjauhinya, Dita sudah mulai mencoba mengajak Raka berbicara tapi selalu ada saja yang menggagalkan rencananya tersebut. Raka seperti belut, licin dan mudah sekali melepaskan diri dari cengkaraman Dita.
Dan Dita percaya kali ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. Gadis itu bisa langsung menarik Raka dan jika perlu memaksa lelaki itu dengan tangisannya supaya bersedia berbicara dengan Dita.
Dita menatap pantulan dirinya sekali lagi lalu entah apa yang membuat, Dita tiba-tiba yakin dengan keputusannya.
Ya, Dita harus berbicara dengan Raka hari ini juga. Demi ketenangan pikirannya, demi penuaan kulit yang tidak boleh terjadi terlalu cepat di usianya yang masih terbilang muda ini.
Setelah membulatkan tekadnya, Dita segera bergegas keluar dari kamar mandi lalu melangkahkan kakinya menuju lab komputer.
Pintu lab masih dalam keadaan tertutup ketika Dita tiba di depannya. Entah Dita harus bersyukur atau merutuk untuk hal ini. Tentu ia merasa lega mereka belum keluar karena artinya Dita mendapat tambahan waktu untuk memikirkan bagaimana ia akan mengutarakan isi hatinya pada Raka, tapi di sisi lain Dita juga takut waktu yang tersedia justru menghabiskan hormon adrenalin yang tengah memenuhi tubuhnya dan membuat Dita urung untuk melakukan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Fiksi RemajaIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite