Edited: July, 12th 2019
***
UAP panas mengepul di atas bolu pandan, yang baru saja Dita pindahkan dari dalam oven ke atas meja. Hari ini untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu, ibunya mengajak Dita untuk mencoba resep kue yang baru lagi. Tidak seperti biasanya juga kakak perempuan Dita, Dara, mau ikut campur dalam hal masak-memasak seperti ini. Biasanya Dara akan menolak mentah-mentah, memilih untuk menjadi juru makan saja. Dita dan ibunya akhirnya memutuskan jika hal ini merupakan sebuah keajaiban.
Tidak ada yang tahu alasan Dara ikut memasak kue adalah karena ketakutannya ditolak oleh calon mertuanya kelak. Dara mendapat pencerahan itu tadi malam omong-omong. Tepatnya saat ia menonton sebuah sinetron, yang menceritakan tentang kekejaman mulut seorang ibu mertua karena menantunya yang tidak bisa memasak. Dan berhubung minggu ini ia tidak memiliki kegiatan apapun, ia memutuskan untuk belajar mulai dari sekarang. Lebih cepat lebih baik.
Hih, Dara tidak mau mencicipi pedasnya perkataan ibu mertua.
"Dara, keluarin aja bolunya dari loyang," Anggun, ibunya, memerintahkan dengan lembut, sementara tangannya sibuk memegangi mixer, mengocok putih telur, menunggu sampai putih telur itu hingga mengembang.
Iya, Anggun sedang membuat resep kue yang kedua, seperti permintaan Dara yang pastinya sempat membuat Anggun dan Dita terkejut bukan main.
"Bisa gak Teh?" tanya Dita—yang baru saja mengantar hasil karya mereka yang pertama pada papanya—tak yakin.
Biasanya Papa Dita selalu hadir menyaksikan kegiatan masak-memasak istri dan anaknya di minggu pagi, namun tidak hari ini. Dedi—Papa Dita—yang berprofesi sebagai pengacara sedang menangani kasus berat sekarang. Kasus sengketa tanah antara warga sipil dengan angkatan bersenjata itu membutuhkan banyak bukti, sehingga Dedi harus merelakan waktu bersama keluarganya untuk bekerja.
"Siap! Masalah gampang itu mah." Jawab Dara menggunakan lap untuk membantunya membalikan loyang yang masih agak panas, tepat di atas piring yang sudah disiapkan.
Mata Dita mengamati setiap pergerakan Dara, khawatir kakak perempuannya itu membuat kesalahan. Tapi nyatanya Dara berhasil melakukannya tanpa cacat sedikit pun, tidak seperti yang Dita khawatirkan tadi.
Satu senyuman yang memancarkan kebanggaan terbit. "Keren 'kan Ta?"
"Sumpah Teh, itu biasa aja," tukas Dita datar. Namun itu tidak membuat senyum bangga Dara luntur sedikit pun dari wajahnya.
"Ta, pacar kamu mau dateng gak hari ini?" Suara Anggun menarik pandangan Dita kepadanya. Dita mengangkat kedua bahunya, disusul dengan gelengan kecil.
"Dita kurang tau Mah. Kayaknya enggak deh," jawabnya ragu. "Kenapa emangnya?"
"Enggak, tumben aja gitu gak dateng. Biasanya kan jam segini udah dateng, entah itu mau ngajak kamu jalan atau main," jelas Anggun, masih mengaduk putih telurnya. "Kalian lagi gak berantem 'kan?" tambahnya hati-hati, takut Dita tersinggung atau yang terburuknya, marah.
Dita langsung menggeleng. Dari tempatnya, Dita bisa melihat Anggun menghela napas lega.
"Mama ih, masa gak dateng sehari aja langsung dituduh marahan sih? Kan, Aditnya juga punya kegiatan lain tau."
"Iya, iya. Habisnya tumben-tumbenan gitu. Kalian kan dari dulu nempel terus kayak perangko."
Tiba-tiba saja kekehan Dara terdengar paling mencolok dibandingkan dengan suara mixer sekalipun.
"Kalo dipikir-pikir lucu ya, Mah. Gara-gara dulu Dita suka check up ke Dokter Hanna, mereka jadi deket, terus pacaran deh sampe sekarang," ucap Dara, membuat Dita memandang ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Novela JuvenilIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite