Edited: July, 10th 2019
***
RAKA turun dari motor besarnya lalu berjalan perlahan mendekati pintu rumah. Beberapa kali ia mencoba membuka gagang pintu tapi daun pintunya tak kunjung mengayun terbuka. Berarti, ibunya sedang tidak ada di rumah. Lantas, Raka menggunakan kunci ganda yang dimilikinya lalu setelah pintu terbuka ia langsung berjalan lurus ke kamarnya.
Tas sekolahnya yang berwarna hitam dilemparkan begitu saja ke lantai yang dilapisi karpet, sebelum ia menghempaskan tubuhnya kasar di atas tempat tidur.
Seharian ini, Raka banyak diam. Bahkan guru-guru pun heran melihat kelakuan Raka yang aneh menjadi sangat tenang dan kalem. Fenomena ini juga menyebabkan Ojan, jadi bertindak konyol sendirian di kelas, karena mood partnernya, Raka, yang entah kenapa berubah.
Raka berguling-guling di tempat tidurnya, berharap mendapat posisi yang nyaman sehingga ia bisa melupakan apa yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Tetapi harapan hanyalah harapan. Semakin Raka berguling maka semakin gusar juga pikirannya.
Araa adalah gadis yang ia lihat di kafe hari itu. Kalimat itu berputar berkali-kali di kepalanya, sejak jam istirahat tadi.
Entah mengapa, fakta ini membuatnya syok dan tak dapat mengontrol diri. Jangan salah tanggap, Raka senang, tentu saja. Ia bahkan bahagia. Ternyata Araa memang gadis yang ia cari selama ini, yang telah mampu menarik perhatiannya sejak kali pertama pertemuan mereka.
Yang membuatnya tak tenang setengah mati justru adalah bagaimana caranya untuk mendekati Araa. Selama ini mereka memang sudah dekat, tapi sejauh ini tak pernah ada sesuatu yang romantis di antara keduanya. Semuanya terlalu santai dan terkesan seperti teman biasa saja. Jelas Raka tidak mau seperti ini terus menerus. Ia ingin lebih. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya.
Adit.
Ah ya, bagaimana bisa Raka tidak terpikir lelaki itu sebelumnya. Dengan cepat Raka merogoh sakunya lalu mengambil ponsel hitam pipihnya dari dalam sana.
Baraka Putra Aidan : Dit, gue butuh bantuan lo.
***
"Kak Araa!!! Keluar!!! Kalo di hitungan ketiga Kakak gak keluar, Bintang bakal dobrak pintunya." Teriakan adik lelaki Araa satu-satunya terdengar untuk yang ke sekian kalinya.
"Bodo. Kalo lo dobrak juga paling lo-nya yang babak belur bukan pintunya yang kebuka," umpat Araa kesal akan Adiknya yang tak juga mengerti.
Ia sudah bilang dari tadi kalau dirinya sedang tidak lapar, tapi adiknya yang tersay—ralat, adiknya yang menyebalkan itu terus saja memaksanya untuk turun makan malam ke bawah.
Bagi Bintang, melihat kakak perempuannya bahagia adalah hal yang haram untuk dilakukan.
Sejak Araa pulang sore tadi dan raut wajahnya cerah bercahaya, Bintang sudah mencoba berbagai macam cara untuk membuat Araa kesal dan menghancurkan mood baiknya. Seperti mengacak-acak kamar Araa, mengambil dan menyembunyikan tugas sejarah Araa yaitu peta perjalanan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia yang akan dikumpul esok hari, memakan stok cokelat kesayangan Araa yang tinggal satu-satunya di dalam kulkas, dan sekarang memaksa Araa untuk ikut makan malam.
"Kak Araa!!! Bintang lapor Mama nih!"
"Apasi rusuh banget, mama aja biasa aja gue gak makan, malah lo yang repot. Ngadu sana! Gaakan diwaro juga," omel Araa pelan dan lebih memilih untuk mengatakan ini sebagai jawaban yang dapat didengar Bintang, "Terserah Bintang!"
Araa mendengar suara langkah laki menjauh dan akhirnya ia bisa menghembuskan nafas lega. Akhirnya, iblis kecil itu menyerah juga.
Dengan ponsel di tangan Araa kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Senyumannya kembali terbit kala mengingat kelakuan Raka siang tadi. Ya, itulah alasan mengapa Araa senang sedari tadi. Entah mengapa gombalan receh bin murahannya itu menyangkut begitu kuat di benak Araa. Membuat Araa sedikit bingung, kenapa ia menjadi semurahan ini padahal jika lelaki lain yang menggodanya Araa justru jijik. Apa yang berbeda dengan Raka? Mengapa ia justru nyaman dan hatinya menghangat tiap kali Raka menggodanya?
"Kak, Kakak!" Suara mamanya yang diselingi dengan rengekan Bintang tiba-tiba terdengar, menghancurkan khayalan Araa.
"Iya Ma!" sahut Araa setengah hati seraya beranjak dari posisinya. "Ada apa Ma?" tanyanya setelah berhadapan dengan mama dan adik lelakinya di pintu kamar.
"Ini Kak, si Adek katanya ga mau makan kalo ga ada kamu, padahal kan Kakak tahu Adek punya maag."
Kedua alis Araa menyatu. "Hah? Tapi kan Kakak udah bilang tadi, Kakak gak laper."
"Ya tapi gimana Kak, Adeknya lagi pengen makan sama Kakak. Udahlah turun, Papa juga udah nungguin tuh."
Araa berdecak, "Kakak mager Ma."
"Kakak, kan bi—" ucapan mama terputus ketika Bintang menarik-narik ujung baju mama menyuruhnya untuk menunduk.
Sontak Araa mencium bau-bau ketengilan ketika Bintang membisikkan sesuatu di telinga mamanya.
"Kak, kata Adek," mama berhenti untuk melirik Bintang yang wajahnya sudah berseri dihiasi senyum kemenangan. "Dia mau makan gak bareng Kakak. Asal Kakak gak dapat uang jajan dua hari."
"Apa-apaan? Kok gak nyambung gini urusannya, Kakak gak maulah!"
"Terserah Kakak lah, Mama udah capek ngehadapin kalian berdua. Gak ada yang bisa ngalah." mama berhenti untuk menarik nafas. "Kali ini aja nurut kenapa sih Kak, kalo Adeknya sakit juga kan semuanya ikutan repot."
Setelah memelototi Bintang dan menyumpah serapahinya dalam hati Araa akhirnya berkata, "Ya udah deh." Jika bukan karena uang jajan tidak akan Araa mengalah pada jebakan kacang adik semata wayangnya ini. "Kakak, iku—" Araa tiba-tiba berhenti ketika ponselnya berbunyi.
Diusapnya layar sentuh ponselnya untuk mendapatkan sebuah pesan LINE dari Raka.
Apa? Raka? Araa tidak salah melihatkan? Sekali lagi Araa berkedip dan benar, pesan itu dari Raka. Sontak sebuah senyum terbit di wajah Araa.
Melihat perubahan raut wajah yang drastis ini, mama menjadi khawatir akan kesehatan mental anak perempuannya, begitu juga Bintang yang cengirannya mulai memudar oleh rasa curiga kepada kakaknya. Diam-diam bocah tengil itu khawatir usahanya mengusili Araa akan gagal.
"Kakak gak jadi makan," putus Araa begitu saja.
"Apa? Tapi nanti Kakak gak dapat uang jajan!" teriak Bintang histeris.
"Sampe seminggu juga gak apa-apa. Terserah. Dadah Mama, dadah Bintang!" ucap Araa menutup pintu kamarnya.
Samar-samar, Araa mendengar suara Ibunya berkata. "Udah lah Dek, berhenti ganggu Kakaknya, kan Kakak udah setuju gak dapet uang jajan udah ah, ayo turun Papa udah nunggu tuh."
Dengan cepat Araa kembali ke kasurnya lalu sejurus kemudian ia membuka layar ponselnya. Pada saat itu juga, Araa tak menyesal uang jajannya selama seminggu telah raib.
Baraka Putra Aidan : Hai Ra, lagi apa? Gue ganggu ga?
***
October, 19 2016
Love, platypus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite