Edited : July, 4th 2019
***
"SELURUH anak kelas sepuluh, dimohon untuk berbaris di luar sesuai dengan kelompoknya. Ketua kelompok sudah berada di sana, untuk instruksi selanjutnya. Bagi kelas XI dan XII, diharapkan untuk segera membentuk barisan karena kita akan memulai upacara bendera." Suara Rama-ketua OSIS tahun lalu-menggema ke seluruh penjuru sekolah.
Secara perlahan, siswa mulai membentuk beberapa barisan. Mereka berbaris dengan rapi sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Upacara pun dimulai tak lama setelah itu.
Seorang gadis mendengar suara Rama ketika ia masih berdiri di depan gerbang. Dengan cepat ia menyalim tangan Ayahnya lalu berlari menuju lapangan upacara. Siswi kelas XI itu belum mengetahui di kelas mana ia tahun ini, sehingga ia berdiri asal di belakang seorang gadis berambut sebahu.
"Lho, Dita?" ucap gadis berambut sebahu itu saat menyadari kehadiran Dita. "Ini XI-IPA 5, lo di kelas ini juga?"
"Gak tahu juga Fa. Gue telat, jadi asal masuk barisan aja," jawab Dita dengan cengiran di wajahnya.
Syifa, gadis berambut sebahu itu hendak merespon ucapan Dita tapi tatapan tajam pemimpin barisannya tertuju lurus padanya membuat Syifa mengurungkan niatnya itu.
Dengan napas yang masih tersengal-sengal-akibat berlari dari gerbang sekolah-Dita melemparkan pandangannya pada barisan bagian tengah, mencoba mencari seseorang.
Pandangannya bertemu dengan seorang lelaki dari kelas XI IPS-3 yang memang sudah menunggunya sedari tadi. Keduanya bertukar senyum sebelum Dita kembali mengalihkan tatapannya ke depan.
15 menit pertama, tidak ada yang terjadi. Namun memasuki menit berikutnya, gadis itu merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Ia menutup mata sambil memijat pelipisnya pelan, berharap dengan begitu perputaran di sekitarnya akan berhenti. Keseimbangannya juga berkurang, membuat dirinya hampir terjatuh untuk beberapa kali.
"Ta." Sontak gadis itu membuka matanya dan menoleh ke sumber suara.
"Adit?" Adit, lelaki yang terus memperhatikannya sejak tadi, sudah berada di sebelahnya.
"Dit, kepalaku pusing banget," keluh Dita, setengah berbisik.
"Tau, muka kamu udah pucet gitu. Ayo, jangan dipaksain." Dita mengangguk lemah dan mulai berjalan beriringan dengan Adit.
Kedua sejoli itu meninggalkan lapangan upacara, berjalan secara perlahan menuju ruang UKS.
Adit membantu Dita duduk di tepian kasur, sebelum berdiri tepat di hadapannya.
"Ini, minum dulu," suruh Adit, menyodorkan segelas air mineral pada Dita.
Dengan cepat Dita meneguk air itu, berharap rasa pusing yang dirasakannya akan segera hilang.
"Thanks, Dit," ucap Dita, menaruh botol yang tinggal sisa setengah itu di atas meja.
Dita menepuk kasur di sampingnya, memberi isyarat agar Adit duduk di sana.
"Biarin gini dulu ya," pinta Dita seraya menidurkan kepalanya di bahu milik Adit.
Lelaki itu meneliti wajah Dita yang hanya berjarak beberapa senti saja darinya. Cantik.
Hingga tanpa terasa, 15 menit sudah berlalu.
"Dita masih pusing?"
"Masih sih, tapi udah baikan kok," balas Dita, dengan posisi yang tidak berubah sedikit pun.
"Pasti kamu belum sarapan 'kan?" tanya Adit dengan nada menyelidik.
Tanpa membuka matanya, Dita mengangguk pelan membuat Adit mendecak kesal.
"Berapa kali aku harus bilang, jangan lewatin sarapan Ta," ceramah Adit, dengan raut wajah serius.
Adit yang tak banyak omong akan berubah menjadi cerewet, jika itu berhubungan dengan Dita.
Ini bukan pertama kalinya Dita melewati upacara karena pusing. Dan Adit sudah tahu pasti, alasannya adalah karena Dita tidak sarapan pagi.
"Maaf Dit, aku telat bangun tadi."
"Gak ada alesan Ta, kesehatan itu paling penting," tutur Adit halus namun penuh penekanan.
"Iya, aku minta maaf. Kamu jangan marah ya," lirih Dita, mengangkat kepalanya dari bahu Adit agar bisa bertatapan dengan lelaki itu.
Adit terdiam untuk beberapa saat, sebelum menganggukkan kepalanya pelan.
"Jangan ulangin lagi, ya?" Adit mengelus rambut Dita secara perlahan, dan Dita pun mengangguk sambil tersenyum."Kamu mau dibeliin apa?" tanya Adit.
"Terserah kamu aja, tapi aku ikut ya. Soalnya aku takut sendirian di UKS, horor."
***
Raka memarkirkan motor kesayangannya, di halaman parkir sebuah kafe. Dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya, ia berjalan memasuki kafe yang buka sejak pagi itu.
Beberapa pengunjung menatap Raka dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak? Mereka pasti bertanya apa yang dilakukan seorang pelajar di sebuah kafe pada jam setengah sembilan pagi. Sudah dipastikan Raka bolos di hari pertama sekolahnya.
Raka yang tadinya akan berjalan lurus ke smoking area, terhenti ketika intro sebuah lagu tertangkap telinganya.
Seorang gadis cantik dengan gitar di tangannya, menyanyikan sebuah lagu yang tidak asing lagi di telinganya.
Matanya fokus memandang gadis itu seraya mendaratkan bokongnya di sebuah bangku yang berjarak enam meter dari panggung yang tidak terlalu besar itu.
"..., I know it's worth it all to spend my life alone with you...." Gadis itu menyelesaikan baris terakhir dari lagunya, lalu seluruh pengunjung kafe bertepuk tangan atas penampilannya.
Gadis itu menunjukan deretan gigi putihnya, sebelum meletakan gitar dan turun dari panggung.
Secepat kilat Raka berdiri hendak menemui gadis itu. Ia melangkahkan kakinya ke panggung lalu mengikuti ke arah mana gadis itu berjalan. Raka melihat ke sekitarnya tapi sosok gadis itu tak juga ia temukan. Ia bahkan bertanya pada seorang pelayan.
Raka sudah hampir menyerah ketika gadis yang ia cari berjalan tak terlalu jauh dari posisinya. Dengan tas di punggung dan seragam sekolah yang lengkap gadis itu berlari meninggalkan kafe.
Raka mengejarnya sambil berteriak tapi ia terlambat. Gadis itu menaiki sebuah angkutan umum yang berhenti di hadapannya.
***
July, 28th 2016
Love, platypus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite