Edited: July, 25th 2019
***
NINDITA Pratama : kamu dmn? aku ada di aula tempat tes olimpiade
Aditya Dirgantara : lagi di rumah araa
Aditya Dirgantara : loh kok blm plg?
Nindita Pratama : blm dijemput nih makannya mau nyusul kamu
Aditya Dirgantara : aku ga jadi ikut tesnya ta
Nindita Pratama : lho knp?
Aditya Dirgantara: aku berubah pikiran
Nindita Pratama : sayang bgt ya ini kan yang kamu tunggu2 😯
Aditya Dirgantara : gapapa masih banyak olimpiade yg lain juga kan
Aditya Dirgantara : yg levelnya lbh tinggi
Nindita Pratama : sombongnyaa
Nindita Pratama : yaudh kalo itu mau kamu. Aku tetep dukung, apapun keputusan yg kamu pilih 😊😊
Nindita Pratama : Semangat ngajar ya pa mentor! Oh iya, salam juga buat araa.
Aditya Dirgantara : oke, thanks ta
Setelah menutup percakapan singkatnya dengan Dita, Adit mengembalikan benda berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku celananya. Adit menatap ke atas, menerawang udara kosong. Waktu terasa begitu lama saat ini. Araa belum juga kembali dari kamarnya.
Seperti biasa, Araa meminta sedikit waktu untuk menukar seragamnya dengan baju santai. Tapi hingga detik ini, Araa tak kunjung datang. Kabar baiknya, Adit bisa menenangkan pikiran sejenak. Kabar buruknya, itu memberikan ruang kosong bagi Adit untuk memikirkan tes olimpiade-nya yang ia sia-siakan.Adit memiliki alasan tersendiri mengapa ia merelakan olimpiade-nya itu. Bukan karena ia lebih memprioritaskan Araa dibandingkan dengan dirinya. Tapi, ini merupakan salah satu wujud dari tanggung jawabnya. Ia sudah terlanjur berjanji pada Bu Sukma. Jadi, mau tidak mau Araa harus menjadi yang tepenting setidaknya untuk beberapa saat ke depan. Adit hanya berharap, semoga pengorbanannya tidak akan menjadi sia-sia.
Sebentar lagi, genap tiga minggu sudah Adit mengajar Araa. Sejauh ini, kemampuan matematika Araa cukup meningkat. Ia sudah memahami beberapa konsep dasar yang sebelumnya belum Araa pahami betul-betul, yang sebenarnya merupakan faktor terbesar mengapa ia selalu mendapatkan nilai yang rendah dalam pelajaran matematika. Araa mudah sekali bingung padahal materinya sama hanya soalnya yang diputar-putar sedikit.
"Bang, buatin pesawat dong,"
Adit tersadar dari alam bawah sadarnya, kala sebuah tangan mungil menyodorkan selembar kertas tepat di depan wajahnya. Itu adalah Bintang. Salah satu dari dua orang, yang selalu hadir setiap kali Adit datang ke rumah Araa. Berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya Araa, yang jarang berada di rumah. Maklumlah, Ayah Araa adalah seorang teknisi yang harus berada di rig selama dua minggu dalam sebulan. dan ibunya seorang perawat. Tapi itu bukan masalah bagi Adit. Lagipula, untuk apa juga ia bertemu dengan orang tuanya Araa?
"Bintang, sini dibuatin sama Bibi aja. Jangan diganggu Abangnya," ucap Bi Santi, pengasuh Bintang.
Bertekad mengusir rasa bosan, Adit tersenyum simpul dan berkata, "Gak apa-apa Bi, biar sama saya aja," Toh, Adit tahu bagaimana membuat pesawat kertas.
Pun Adit mengambil kertas dari tangan Bintang. Wajah Bintang langsung memancarkan kebahagiaan karena permintaannya terpenuhi. Tak tanggung-tanggung Bintang meloncat-loncat kecil, mengundang kekehan dari Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite