Edited: July, 9th 2019
***
DENGAN tergesa-gesa, guru Sosiologi itu keluar dari kelas XI-IPS 3. Telepon itu datang dari Ibunya yang berada di kampung, sehingga tak heran ia tega meninggalkan kelasnya begitu saja.
Tepat setelah gurunya hilang dari pandangan, Araa segera bangkit dan berjalan ke meja Tyas.
"Eh Ty, yang nomor tiga tuh gimana sih? Harus dijelasin apa disebutin aja?" Tanya Araa, seraya membungkukkan tubuhnya di atas meja. Kedua tangannya ia gunakan untuk menopang.
Adit yang tadinya sedang membaca sambil bertopang tangan, harus menarik tubuhnya ke belakang agar tidak terlalu dekat dengan Araa. Bertepatan dengan itu, Afaf, teman sebangku Araa, menarik ikat rambut yang sebelumnya mengikat ratusan ribu rambut Araa yang hitam legam. Sehingga perlahan, rambut itu mulai terjatuh dan akhirnya menjuntai di bahunya.
"Sori Ra, panas," ucap Afaf cengengesan. Araa tidak merasa kesal, toh itu memang ikat rambut milik Afaf yang ia pinjam kemarin dan lupa untuk di kembalikan. Araa kembali mengumpulkan konsentrasinya untuk mendengarkan penjelasan dari Tyas.
Adit yang tetap diam di situ hanya terdiam menghirup aroma strawberry dari rambut Araa yang sempat terhembus di bawa angin, memasuki indra penciumannya. Jujur, Adit menyukai baunya. Adit bahkan baru menyadari jika Araa berbau strawberry.
Lama-lama Adit merasa tak nyaman. Mau membaca buku pun rasanya percuma. Ia tidak bisa konsen jika membaca buku dalam keadaan Araa dan Tyas yang bisa berteriak histeris kapan saja. Entah sejak kapan, perbincangan mereka sudah berganti topik menjadi aktor tampan kesukaan mereka.
Adit bersyukur ketika Bu Tuti, guru sosiologi mereka, masuk ke dalam kelas lagi. Itu tandanya kelas akan kembali teratur dan Adit bisa kembali membaca buku pelajaran tanpa merasa terganggu.
Buru-buru Araa melangkahkan kaki menuju bangkunya. Lagi, aroma strawberry itu tercium saat Araa melewati Adit.
***
Adit memarkirkan mobilnya tidak jauh dari gedung tempat Dita kursus gitar. Dari mobil, Adit bisa melihat Dita yang sedang duduk di bangku tunggu, memasang wajah cemas sambil menggerak-gerakkan ponselnya di tangan.
Adit jadi merasa bersalah. Biasanya Dita tidak pernah menunggu seperti ini, karena biasanya Adit selalu menunggu Dita di luar hingga Dita selesai les. Tetapi hari ini agak berbeda karena Adit ada keperluan mendadak, sehingga mengharuskan Adit untuk pulang. Dan tadi saat Adit di perjalanan menjemput Dita, hujan turun begitu derasnya membuat Adit terpaksa harus kembali ke rumahnya untuk mengganti motor dengan mobil, agar Dita tidak basah akibat guyuran hujan.
Buru-buru Adit mengambil payung di jok belakang. Dengan cekatan Adit membuka payung itu, ketika pintu mobilnya sudah terbuka. Seakan tidak mau gadisnya menunggu lebih lama, Adit berjalan cepat menghampiri Dita.
Wajah Dita terlihat begitu lega melihat Adit datang dengan payung berwarna biru tua di tangannya. Dita bangkit dari posisi awal, menyambut Adit dengan gembira. Walaupun sekarang awan terlihat begitu gelap karena mendung, Adit masih bisa melihat mataharinya bersinar. Dan walaupun hujan membuat udara terasa dingin, hati Adit tetap menghangat melihat Dita-nya baik-baik saja.
"Sori Ta, udah lama ya?" tanya Adit cemas, menurunkan payungnya karena ia sudah merasa aman berdiri di bawah naungan atap gedung itu.
"Lumayan sih," jawab Dita. "Aku pikir kamu lupa sama aku. Mana hapeku low batt lagi," lanjutnya, memeluk Adit dengan wajah yang murung. Dita benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti, jika Adit lupa menjemputnya.
"Gak mungkinlah Ta."
Dita hanya diam, menikmati posisi mereka yang seperti ini. Bahkan Dita tidak peduli dengan orang-orang yang sedang memperhatikan mereka.
"Laper gak?" tanya Adit lagi menatap wajah Dita yang masih menempel di dadanya.
Sangat mudah bagi Adit untuk melihat wajahnya, karena Dita tidak lebih tinggi dari dagunya. Dita mengangguk, membuat Adit terkekeh kecil lalu melepaskan salah satu tangannya, untuk memegang payung lagi.
Adit merangkul Dita, di bawah derasnya hujan, dengan perlindungan sebuah payung. Adit mengerahkan seluruh kekuatannya agar Dita tidak basah, seakan Dita adalah kertas yang akan hancur jika terkena air. Ia mengeratkan rangkulnnya, bahkan Adit merelakan sedikit dari tubuhnya dibasahi oleh titik air hujan.
Adit memang seprotektif itu pada Dita, apalagi jika menyangkut soal kesehatan gadis itu. Keduanya sudah kenal dari kecil, Dokter Hanna—mama Adit—adalah dokter yang menangani Dita pada waktu ia sakit dulu, jadi Adit paham benar bagaimana keadaan tubuh Dita.
Adit membukakan pintu mobil untuk Dita sebelum dirinya kembali berjalan dan masuk ke dalam mobil. Adit menyalakan mesin mobil, dan menjalankan mobilnya.
Selama di perjalanan, Dita hanya diam memandang jalanan yang basah diguyur air hujan di luar jendela. Itulah yang membuat Adit merasa heran, tak biasanya Dita seperti ini. Biasanya dia akan bercerita banyak hal pada Adit, apalagi ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti les gitar. Iya, ini memang hari pertama Dita les. Tadinya Dita mengikuti les piano, namun karena Dita merasa bosan dengan alat musik berdawai baja itu, akhirnya ia memilih untuk memutar haluan menjadi gitar. Adit tidak setuju, tetapi itu adalah keinginan Dita, jadi ia tidak bisa menolaknya.
"Kok diem aja? Tumben gak cerita," pancing Adit. Adit memandang Dita dan jalanan secara bergantian, sampai akhirnya Dita menggeleng.
"Ta,"
Hening.
"Ta,"
Hening.
"Dita?"
Masih juga hening, membuat Adit tiba-tiba diserang kepanikan. Tanpa berpikir panjang Adit memberhentikkan mobilnya di pinggir jalan, agar ia bisa fokus pada Dita untuk sementara. Adit memperhatikan Dita, dan ia baru menyadari Dita menangis saat perempuan itu menghapus air matanya menggunakan jari.
Adit memegang kedua bahu Dita supaya Dita mau membalikan tubuhnya. Benar saja, ada bekas air mata di pipinya. Adit benar-benar tidak mengerti, mengapa Dita tiba-tiba menangis?
"Kenapa, Ta?" tanya Adit, kedua tangannya masih memegang kedua bahu Dita, dan matanya menatap lembut mata sendu Dita.
Melihat Dita menangis memang bukan pengalaman pertama ataupun kedua bagi Adit, karena Dita memang sering menangis di depan Adit. Tapi entah mengapa, Adit selalu merasa sakit tiap melihat benda bening itu jatuh dari pelupuk matanya Dita.
"Ja-jari aku sakit Dit," ucap Dita parau.
Reflek, Adit memindahkan pandangannya pada ke sepuluh jari Dita yang berubah warna menjadi merah keunguan dan mengalami lecet yang lumayan parah.
"Tuh kan, aku bilang juga kamu les piano aja. Jadi merah gini kan tangannya," kata Adit, memegang kedua tangan Dita.
Dita meringis, ketika Adit mengelus bagian yang berwarna merah. "Besok juga sembuh, Ta. Udah, jangan nangis lagi ya?"
"Tapi ini sakit banget, Adit. Perih."
"Wajarlah, pemula pasti tangannya kayak gini."
"Aku gak mau les gitar lagi."
"Iya, lagian 'kan ini kamu yang mau."
"Itukan sebelum aku tau kal—Dit, hape kamu bunyi," ucap Dita membuat Adit tersadar.
Adit segera menggeser tombol hijau di ponselnya.
Dita terkejut ketika Adit tiba-tiba berteriak, "Apa?!"
***
September, 4th 2016
Love, platypus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Teen FictionIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite