Edited: September, 2nd 2019
***
DALAM satu minggu ini, begitu banyak hal telah berubah. Araa sampai kewalahan bagaimana harus mengikutinya. Adit kembali menjauhinya lagi, membuat Araa yang tadinya dapat melihat sebuah harapan berbentuk cahaya, kembali buta, dunianya kembali gelap dan dingin.
Araa bingung, berbagai rasa bercampur aduk dalam benaknya. Apalagi di tengah situasinya yang bukan siapa-siapa Adit, sulit rasanya bagi Araa untuk mencoba mengajak Adit berbicara. Belum lagi akal sehatnya yang mengingatkan Araa kalau justru kedekatan mereka kemarinlah yang salah.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Dengan tidak bersemangat, Araa memasukkan buku-bukunya.
Meski sudah mencoba untuk mengabaikan, matanya tetap melirik ke beberapa bangku yang berada di depannya. Sama seperti dirinya, Adit juga tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
Araa meringis pelan saat menyadari betapa dekatnya Adit dengannya tapi betapa jauh jarak yang rasanya terbentang di antara mereka.
Araa menjadi yang terakhir keluar dari dalam kelas. Karena hari ini adalah jadwalnya untuk piket, gadis itu langsung berjalan ke lemari penyimpanan alat-alat kebersihan. Araa semakin lemas saja saat mengingat, percakapan antara Adit dan Rino tadi pagi, di saat laki-laki itu membujuk Rino untuk bertukar jadwal piket dengannya.
Sungguh jika ada yang tahu, tolong beritahu Araa apa salahnya pada Adit sehingga laki-laki itu menjauhi Araa sebegitunya?
Seperti biasa sudah ada teman-teman perempuannya yang berebut untuk menyapu.
Mungkin mereka merasakan aura kelam yang menguar dari diri Araa sehingga begitu Araa tiba di sana, teman-temannya itu langsung berhenti bertengkar.
"Eh Araa, nih Ra lo aja yang nyapu," kata Afaf sembari tersenyum kecil.
Menyadari teman-temannya yang terlihat sungkan padanya oleh karena ia yang mendadak pasif beberapa hari ini, Araa jadi tidak enak.
Jadi Araa membalas senyum Afaf dan menjawab dengan nada bercanda,"Gausah sepik deh Faf, gue udah biasa kok kalian zalimi dan kebagian ngepel mulu,"
Tidak mampu untuk berakting lebih lama lagi, Araa mengambil alat pelnya dan mulai melakukan tugasnya untuk mengisi air di ember.
Akhirnya, Araa selesai dengan tugasnya untuk mengepel. Setelah menyimpan alat pel dan mencuci tangan, gadis itu berjalan di sepanjang lorong untuk turun ke bawah. Pandangannya terarah ke lapangan basket, menyaksikan anak basket yang tengah berlatih untuk turnamen yang sudah tidak lama lagi.
Namun mata Araa mengkhianatinya. Tak sengaja, ia menangkap Adit dan Dita yang berjalan bersama masuk ke dalam ruangan musik.
Sontak Araa merasa tubuhnya melemas. Ia tidak sanggup berjalan sehingga harus bertopang pada balkon yang berada di sebelah kanannya. Araa kesal, rasanya ia ingin berteriak memprotes reaksi yang ditunjukkan oleh tubuhnya sendiri.
Matanya terasa perih dan tak lama kemudian air matanya mengalir. Araa merasa beruntung sekolah sudah sepi sehingga ia bebas menangisi kebodohannya dan menatap nanar ke arah pintu ruang musik yang sudah tertutup.
Satu hal yang Araa tidak ketahui, ada sepasang mata yang mengawasinya sedari tadi dari bawah sana.
***
"Ra," ucap Raka pelan, menarik Araa ke dalam pelukannya.
Meski kaget dengan kedatangan laki-laki yang masih memakai jersey basketnya itu, Araa tetap menurut. Ia segera menjejalkan wajahnya pada dada bidang Raka dan menumpahkan segalanya di sana. Raka memeluk Araa, mengelus puncak kepalanya, berusaha menyalurkan rasa tenang dari dirinya. "Jangan nangis Ra,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftermath [COMPLETED]
Dla nastolatkówIt's not right yet it feels so good. © 2016 platyswrite