"Kamu kayaknya lagi kesal. Kenapa?" Rita-Mamanya Lisa-memerhatikan raut wajah anak gadis satu-satunya itu yang terbaca sekali kalau sedang menahan kesal. Entah karena apa, tetapi ia percaya sekali kalau sehabis melihat ponsel, anaknya itu langsung mencibik dan cemberut.
"Hah?" Lisa menghentikan acara mengaduk-aduk makanannya di atas meja dan berpaling menatap Rita.
"Kamu kenapa? Engga baik loh memasang wajah kesal di depan makanan," Rita bersuara lagi.
Lisa menggeleng dan dengan cepat mengubah raut wajahnya lebih santai, walaupun dalam hati masih sangat kesal. Tentu saja karena teman baiknya-Keira-yang habis-habisan meledeknya di pesan dengan mengungkit-ungkit kejadian tiga hari lalu saat Rio mengajaknya makan siang bersama. Oh, satu lagi, ia juga kesal sekali dengan Rio yang ternyata adalah orang yang membocorkan hal itu. Padahal, ia berusaha keras sekali agar temannya tidak tahu menahu soal itu.
"Lisa engga pa-pa, Ma."
"Yakin?" Rita masih tidak percaya setelah melihat Lisa mengangguk. Biar bagaimanapun, ia sudah hafal sekali dengan gerak-gerik anak gadis kesayangannya itu. Mau itu dari hal yang paling kecil sampai yang terbesar sekalipun. "Kalau kamu ada masalah, cerita aja sama Mama."
"Iya, Ma."
"Oiya, besok Alice mau main ke sini," Rita mengganti topik pembicaraan seraya mengangkat piring-piring bekas di atas meja makan dan membawanya ke dapur. Di rumahnya, ia memang sengaja tidak memakai pembantu karena ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang mandiri. Untungnya, David-suami sekaligus papanya Lisa-tidak keberatan sama sekali akan itu.
"Mau ngapain si medusa itu ke sini?" Kalau dari cara berbicara dan nada suaranya, sudah jelas sekali kalau Lisa tidak suka dengan seseorang yang bernama Alice itu.
"Lisa, dia itu masih sepupu kamu," akhirnya David membuka suara setelah lama terdiam menatap layar laptopnya yang menampilkan kenaikan saham di perusahaan miliknya. Senyum yang menyiratkan sebuah kelegaan akhirnya langsung terbentuk. Beberapa minggu ini, perusahaannya memang sedang ada masalah yang cukup serius. Sahamnya menyusut secara drastis setelah perusahaan saingannya memenangkan vendor besar yang selama ini bekerjasama dengannya. Untung saja, dua hari yang lalu ia berhasil merebut salah satu kepercayaan dan hati vendor besar lainnya dan berhasil menyelamatkan sahamnya.
"Lisa engga pernah menganggap dia sebagai sepupu," desis Lisa cepat.
David menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menghampiri Lisa yang kini sudah berpindah duduk di atas sofa dengan tangan yang terlipat di depan dada. Memeluk bahu anak gadisnya dengan hangat. "Kalian berdua punya masalah apa sih sebenarnya?"
"Harusnya Papa yang tanya hal ini ke dia. Selama ini dia yang selalu cari-cari masalah sama Lisa."
"Papa lebih suka mendengarnya langsung dari kamu," David masih mencoba untuk sabar menghadapi sikap labil anak gadisnya yang masih berubah-ubah ini.
"Tapi, Lisa engga berniat untuk ngebahas masalah ini, Pa," Lisa memberenggut sambil menaruh kepalanya di atas bahu David dengan manja.
David menghela napas. Ia menyerah juga karena memang tidak ingin memaksa Lisa. Kalaupun di antara mereka memang ada masalah tersembunyi, biarlah mereka yang mengatasinya sendiri dengan cara masing-masing. Toh, mereka juga akan meminta bantuan pada akhirnya.
Kalau orang tuanya sedang komplit ada di rumah seperti ini-komplit dalam artian papanya sedang tidak sibuk di kantor-Lisa jadi penasaran sekali dengan kisah percintaan mereka saat muda dulu. Pasti akan menarik sekali untuk didengar. Apalagi, saat jaman-jaman dulu masih belum ada yang namanya ponsel canggih, apalagi media sosial yang bertebaran seperti sekarang. Kalau dipikir-pikir, cukup sulit untuk orang tuanya berkomunikasi, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Over Reality
Teen FictionRio Lionel, merupakan gangguan terbesar bagi Lisa dalam menjalani kehidupan sekolahnya di SMA Angkasa Mirta. Setiap hari selalu membuat dirinya kesal dengan berbagai macam tingkah konyol dan bodoh yang dibuat oleh cowok itu. Masalah utama yang membu...