Hari ini, Faren selaku ketua kelas, menginformasikan bahwa Pak Rama-guru kimia sekaligus guru paling tampan di SMA Angkasa Mirta-akan mengadakan ulangan lisan pada jam pelajarannya nanti. Tanpa ada pemberitahuan atau informasi sama sekali sebelumnya. Yang Faren tahu dari mulut beliau, beliau hanya meminta para murid untuk mempelajari bab satu dan dua yang sebelumnya sudah dibahas.
Tentu saja, seluruh murid di kelas XI-IPA4 langsung mengeluarkan protes dan rasa keberatan mereka kepada Faren, walau Faren sendiri memang baru diberi tahu pagi tadi saat kebetulan ia sedang lewat di depan ruang guru.
"Sumpah, dia baru ngasih tau gue tadi pagi," Faren masih terus membela diri, saat anak-anak di kelas menuduhnya dengan sengaja tidak ingin memberitahu bahwa Pak Rama akan mengadakan ulangan lisan. Masalahnya, ulangan lisan itu lebih sulit dibanding pilihan ganda dan esai yang masih bisa memakai logika dan bahasa sendiri. Apalagi, guru kimia itu terkenal dengan ketelitiannya yang diluar batas. Kadang, guru itu juga tidak segan-segan memberi nilai C kepada murid yang menjawab soal esai tidak sesuai jawaban.
Maka dari itu, tidak banyak dari murid-murid yang diajar oleh Pak Rama, mendapat nilai yang di atas standar. Rata-rata selalu remedial atau mengulang. Walau sudah begitu, masih banyak juga murid yang masih belum mencapai nilai yang kompeten. Kalau sudah begitu, Pak Rama selalu memberi alternatif lain yang mengharuskan para murid untuk membuat catatan tentang apa yang sudah ia sampaikan selama mengajar.
"Mampus, gue belom belajar sama sekali. Gimana dong?" Lisa lebih bertanya kepada dirinya sendiri yang gelisah dan cemas bukan main. Seumur-umur, ia belum pernah mendapat nilai yang kompeten di pelajaran produktif tersebut. Selalu saja remedial, sampai-sampai ia bosan harus terus mengulangnya.
"Udah, santai aja, engga usah diambil pusing," kata Rio dengan raut wajah yang seperti tidak khawatir dan terbebani sama sekali. Sejak dulu, ia memang selalu menjalankan prinsip seperti ini; kalau bisa, syukur. Kalau engga, yaudah. Makanya, ia santai-santai saja sekarang ini. Kalaupun memang harus mengulang atau remedial, ya terima saja. Ia memang se-simpel itu orangnya.
"Yeee, emang dasarnya lo males jadi orang," Lisa melirik wajah Rio sejenak, sebelum akhirnya membaca buku catatan kimia miliknya. Mencoba untuk serius, walau sebenarnya tidak ada satupun kalimat atau bacaan yang berhasil terperangkap di dalam otaknya. Sederet huruf-huruf di buku itu sudah bagaikan soal Algoritma yang sejak dulu tidak pernah dimengertinya.
"Nyontek aja kali," sahut Rio santai seraya menatap ponselnya sambil senyum-senyum sendiri. Sesuatu yang sedang ia lihat di layar ponselnya, lebih menarik dari pada membaca buku kimia. Tentu saja, sesuatu yang dimaksudnya adalah sebuah foto Lisa yang berhasil ia ambil beberapa waktu lalu. Menurutnya, foto tersebut merupakan penyemangat hidupnya.
Lisa mencibik. "Lo pikir kita ulangan pg sama esai yang bisa nyontek?!"
"Lah, emang ulangan apa?" Rio bingung, tidak mengerti.
"Lisan."
Satu kata yang keluar dari bibir Lisa, kontan membuat Rio berjingit kaget. "Anjing mampus! Gue belom belajar sama sekali," tanpa basa-basi lagi, ia pun langsung mengambil buku catatan yang sedang dibaca oleh Lisa dengan paksa.
Lisa yang tidak terima, juga kontan merampas paksa buku miliknya karena ia juga ingin belajar. "Apaan sih, pake buku lo sana!"
Masih dengan tangan yang menarik-narik kencang buku catatan Lisa, Rio menjawab, "gue engga pernah nyatet."
"Derita lo! Cepet lepasin nggak buku gue?!"
Rio menggeleng. "Engga, gue mau belajar."
Adegan tarik-menarik buku catatan milik Lisa pun akhirnya terjadi dengan sengit. Rio yang hanya perlu mengeluarkan sedikit tenaganya dan Lisa yang mengerahkan seluruh tenaganya melawan kekuatan yang Rio miliki. Seluruh murid di kelas saja sampai geleng-geleng melihat tingkah mereka yang sudah menjadi santapan sehari-hari. Selalu saja seperti itu. Tidak pernah diam dan akur barang hanya satu menit pun. Hingga pada akhirnya, buku catatan itu pun lecek dan robek. Terbelah menjadi dua di tangan masing-masing.
Rio yang tidak pernah berpikir bahwa buku catatan Lisa akan berakhir seperti itu, spontan membuatnya merasa sangat bersalah. Apalagi melihat wajah sang pemilik yang sudah melongo dengan mulut yang terbuka lebar dan mata yang membulat sempurna.
"RIO, LO EMANG ANJING YA!!!" Lisa langsung berteriak sekencang mungkin dan memukul tubuh Rio bertubi-tubi, sedangkan kakinya menendang-nendang cowok itu dengan kencang.
"Sori, Lis, sori. Gue engga nyangka kalau bukunya bakalan rusak kaya gitu," kata Rio sambil berusaha menghindari pukulan Lisa dengan berlari-lari kecil mengitari kelas, membuat sebagian murid yang tersenggol sampai terhuyung-huyung karenanya. Dan sekiranya lari menghindar di dalam kelas tidak menolong, Rio pun berlari keluar kelas.
Namun, Lisa yang notabane-nya adalah seseorang yang tidak mau kalah, juga ikut-ikutan berlari hingga pada akhirnya mereka berdua saling terlibat kejar-mengejar di sepanjang lorong lantai tiga. Tidak memedulikan tatapan seluruh murid kelas sebelas yang sudah bosan melihat mereka berantem seperti itu. Termasuk Keira, Ivy, Samuel dan Kenio yang kebetulan memang sedang berada di lorong depan kelas mereka. Sayangnya, mereka berdua tidak menyadari keberadaan teman-temannya.
"Rio, lo harus tanggung jawab!" Lisa terengah-engah dan akhirnya memilih untuk berhenti mengejar Rio karena ia sudah tidak sanggup berlari lebih jauh lagi.
Dari jarak kejauhan sepuluh meter, Rio mengangguk dan ikut berhenti dari larinya dengan keadaan membungkuk dan kedua tangan yang memegang lutut. Sama lelahnya dengan gadis itu. "Iya, gue tanggung jawab!"
"Sekarang!"
Rio mengangguk lagi. "Iya, bawel!"
"APA LO BILANG?!" Teriak Lisa dengan tangan yang terkepal kuat. Kesabarannya untuk Rio sudah mencapai ambang batas dan tidak bisa ditahan lagi. Dengan kekuatan dan tenaga yang tersisa, ia kembali berlari saat dilihatnya cowok itu sedang lengah. Dan secepat kilat, ia sudah sampai di hadapannya dan menjambak rambut Rio yang bercampur keringat karena kelelahan berlari.
"Aduh, sakit!" Rio meringis sambil berusaha melepas tangan Lisa dari rambutnya. "Lisa! Rambut gue rontok entar!"
"Bodo, rasain lo!"
Sepertinya, tindakan mereka berdua sudah membuat Samuel dan Kenio tidak bisa lagi diam sambil memerhatikan mereka dari kejauhan. Maka dari itu, mereka langsung memisahkan Lisa dan Rio yang sayangnya begitu keras kepala dan sulit dihadapi.
"Samuel, Kenio, bantuin gue dong!" Rio meminta pertolongan sambil menatap kedua temannya dengan tatapan memohon.
Samuel mencibik. "Emangnya, kita lagi ngapain sekarang?!"
Walau masih meringis kesakitan, Rio masih bisa saja cengengesan. Tentu saja kedua temannya itu sedang berusaha melepaskan tangan Lisa yang entah mendapat kekuatan dari mana, sehingga sulit sekali untuk dilepas.
"Diem nggak lo semua!" Lisa memberontak saat tangannya yang menjambak Rio, sedang berusaha dilepas oleh Samuel dan Kenio. "Lo ngga tau kalau temen lo yang anjing ini udah ngerobek buku kimia gue, padahal nanti ada ulangan lisan!"
Baik Samuel dan Kenio, langsung berhenti membantu Rio dan mengerjapkan matanya. "Oh, dia yang salah dong?" Lisa mengangguk cepat menjawab Kenio. "Kalau gitu, lanjutin aja deh acara ngejambak rambutnya."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Samuel dan Kenio pun meninggalkan kedua insan yang tengah berantem itu begitu saja. Lisa langsung menyeringai penuh kemenangan, sedangkan Rio mendesah pasrah.
"Mati aja gue kalau gini," gumam Rio putus asa. Kalah sudah dirinya.
••••••
[A/N]
Hai, aku mau kasih tau kalau setelah ini, Endless Feeling akan slow update. Aku lagi ngga mood banget nulis;(
Anyway, vote dan comment jangan lupa, ya. Terima kasih!:)
September 18, 2016.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Over Reality
Fiksi RemajaRio Lionel, merupakan gangguan terbesar bagi Lisa dalam menjalani kehidupan sekolahnya di SMA Angkasa Mirta. Setiap hari selalu membuat dirinya kesal dengan berbagai macam tingkah konyol dan bodoh yang dibuat oleh cowok itu. Masalah utama yang membu...