Part 19

2.4K 338 6
                                    

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit di atas sepeda air, juga beberapa kali sempat mengambil foto bersama–atas kemauan Rio, katanya sebagai kenang-kenangan–mereka berdua pun memilih untuk menyusuri danau buatan tersebut sambil sesekali memotret bunga-bunga yang tumbuh di sekitar sana.

Rio benar, mood Lisa memang langsung naik drastis. Gadis itu sepertinya dapat melupakan sejenak rasa kesal dan amarahnya. Apalagi, cuaca sore ini memang sedang bagus. Udaranya juga sejuk, rasanya seperti sedang berada di Bandung, tapi suasana Jakarta.

"Lo gak laper?" Tanya Rio, sambil mengikuti langkah cepat Lisa saat gadis itu melihat bunga lantana yang tumbuh tidak jauh dari tempatnya sekarang. Bunga dengan kombinasi warna pink muda dan pink tua itu memang sangat menjadi eye catcher di antara bunga-bunga lain yang tumbuh di sana. "Lis, tungguin dong!" serunya.

"Rioooo, fotoin gue dong!" Lisa buru-buru memberikan ponselnya kepada Rio yang sudah dalam mode kamera. Begitu cowok itu menerimanya, Lisa langsung memetik satu bunga tersebut untuk disematkan di telinganya.

"Siap ya?" kata Rio, memberikan aba-aba. "Satu...dua..."

Jepret!

[Anggep aja di bawah ini foto Lisa ya wkwk]

"Bagus gak?" Lisa menghampiri Rio, tapi cowok itu hanya diam saja di tempat sambil terus memandangi hasil foto Lisa yang baru saja ia ambil di ponsel gadis itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagus gak?" Lisa menghampiri Rio, tapi cowok itu hanya diam saja di tempat sambil terus memandangi hasil foto Lisa yang baru saja ia ambil di ponsel gadis itu. "Kalo jelek, ulang lagi dong."

Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cantik," katanya sambil memandangi Lisa.

"Yaudah sini hapenya, gue mau liat," Lisa pun mengambil ponselnya dari tangan Rio, lalu manggut-manggut begitu melihat bahwa hasil fotonya tidak begitu buruk. "Hem, lumayan," pujinya. "Yaudah yuk, kita cari makan."

Rio mengangguk, lalu membiarkan Lisa berjalan mendahuluinya. Senyumannya mengambang sesaat setelah ia melihat isi ponselnya; foto Lisa yang tanpa gadis itu sadari ia kirim lewat LINE-nya secara diam-diam.

***

            "Lo mau makan apa?" Rio menatap satu persatu pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan. Ciri khas di sebuah taman yang selalu dikelilingi oleh para pedagang menggunakan gerobaknya masing-masing. Rata-rata sih hanya ada makanan seperti; siomay, batagor, bakso, mie ayam, soto betawi.

"Hemmm..." Lisa berhenti sejenak, kebetulan di depannya ada tukang batagor yang bersebelahan dengan tukang es kelapa. Menggugah seleranya. "Itu aja yuk!"

Lisa dan Rio pun segera menghampiri kedua pedagang tersebut, memesan masing-masing dua porsi untuk mereka berdua. Kemudian, mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang, tidak jauh dari para pedagang itu.

Beberapa saat kemudian, pesanan mereka datang. Keduanya langsung menyantap makanan tersebut, sambil sesekali bercerita. Tapi, yang banyak bercerita memang Rio. Ia bercerita mengenai kedua orang tuanya yang dulu sering sekali mengajaknya main ke taman seperti ini waktu dirinya masih kecil. Pokoknya, rutin selama seminggu sekali. Apalagi, ia juga merupakan anak satu-satunya, dimanja banget deh.

"Dulu kalo ke taman gini, gue sama orang tua gue paling suka sambil makan es krim gitu. Gak tau kenapa, udah jadi kebiasaan aja," Rio berhenti sejenak untuk meminum air, kemudian melanjutkan ucapannya. "Tapi, semenjak gue masuk smp, udah jarang, secara gue mikirnya tuh udah gede, bukan anak kecil lagi. Jadi kaya gak pantes aja kalo masih main di taman sore-sore bareng orang tua."

"Kenapa? Harusnya bagus dong, cowok tengil kaya lo masih main-main di taman gitu, sambil makan es krim, gelendotin orang tua." Lisa tertawa kecil sambil membayangi bagaimana lucunya kalau Rio masih melakukan hal itu bersama orang tuanya.

"Gila aja, gue kan cowok, jadi waktu itu mainnya udah beda, udah mulai suka sama cewe. Nanti kalo cewe yang gue suka tau kalo gue masih suka gitu, yang ada gue jadi bahan ejekan."

"Oh, ya?" kata Lisa, lalu menaruh piring makanannya yang sudah habis ia santap di bawah bangku. "Gue sih malah suka main sepeda gitu kalo sore-sore, keliling komplek."

Rio menjentikkan jarinya tiba-tiba. "Ah, iya! Gue juga suka main sepeda dulu, bareng temen, biasanya sambil cari layangan. Kan dulu lagi musimnya tuh, anak-anak main itu."

Lisa terkekeh geli, ingat kalau ia mempunyai pengalaman pahit dengan permainan layang-layang. "Waktu pertama kali main layang-layang, jari gue pernah kegores talinya, jadi diomelin sama nyokap terus gak boleh main itu lagi. Bahaya, katanya."

"Iya sih emang," Rio manggut-manggut. "Kalo dulu gue udah kenal sama lo, gue juga bakal ngelarang lo."

"Kenapa?" Lisa mengerutkan kedua alisnya.

"Soalnya jari tangan lo berharga, apalagi jari manis sama jari tengah, dua jari itu kan bakal jadi tempat cincin kepemilikan gue berlabuh." Rio menyengir lebar.

Gawat! Wajah Lisa memanas seketika, jantungnya berpacu dengan cepat. Akhir-akhir ini, semua gombalan yang keluar dari bibir Rio, cepat sekali membuatnya salah tingkah. Entah kenapa itu, aneh sekali rasanya. Dulu, mau cowok itu jungkir balik sambil menggodanya, tidak pernah sekalipun ia seperti ini. Bahkan, tergoda saja tidak, yang ada jijik dan ilfil.

Lisa langsung berdeham, kemudian meneguk air di botolnya sebelum membuka suara. "Apa sih, ada-ada aja lo."

Rio tertawa. "Becanda doang kok, santai aja, gak usah dibawa serius."

Dan ucapan itu, berhasil membuat Lisa sebal seketika. Sudah dibuat grogi seperti ini, eh malah dibuat jatuh di atas duri-duri tajam. Sakit. Entahlah, rasanya agak kecewa saja.

"Gue bayar dulu ya." Lisa mengangguk, Rio pun langsung mengunjungi kedua pedagang yang pesananannya mereka pesan tadi, lalu membayarnya. "Yuk, kita harus balik, besok masih sekolah."

Walau sebenarnya Lisa belum ingin pulang, tetapi gadis itu memilih untuk mengiyakan. Setidaknya, walau sebentar, bad mood-nya hilang.

"Udah siap?" tanya Rio sebelum ia menjalankan motornya, menoleh sebentar ke arah belakang di mana Lisa masih sibuk menguncir rambutnya sebelum memakai helm. Barulah setelah itu, ia berkata, "Siap!"

Rio terkekeh, lalu mulai mengegas motornya dan melesat pergi.

Well, mereka berdua senang. Sangat senang.

••••••

[Tolong dibaca, ya]

Halo, disini aku mau kasih tau beberapa hal untuk kalian. Pertama, makasih banyak loh buat kalian yang udah mau baca cerita ini, walau dikit aku seneng banget. Kedua, makasih juga buat kalian yang udah mau vote ceritaku, I really appreciate it. Ketiga, ini yang paling buat aku sedih, 3 part belakangan, sama sekali gak ada yang comment. Nol, kosong, zero. Aku bener-bener sedih, sumpah gak bohong. Apa cerita ini kurang bagus? Kurang menarik? Atau emang gak sreg buat kalian? Maaf ya, aku tulis kaya gini bukan karena apa-apa, cuma sedih aja, ngerasa kaya sendiri padahal aku tau ada yang baca. Tolong ya, tolong banget jangan jadi sider. Mau di cerita aku ataupun di cerita orang lain. Aku sih engga masalah sama sekali, karena tujuan aku nulis emang bukan untuk ngarepin itu. Tapi coba deh, sekali aja gak kaya gitu:)

Oke, itu aja kok basa-basi gak jelas dari aku. Anyway, makasih yaaa yang udah baca ini, aku akan terus usahain update setiap hari. Tapi kalo udah masuk sekolah gak janji hehe. Thanks❤❤❤

January 4, 2017.

Broken Over RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang