Part 16

2.4K 253 1
                                    

Lisa menggetar-getarkan kakinya selama lima belas menit lalu sambil terus mencoreti buku tulisnya secara abstrak. Pikirannya melayang-layang membayangi bagaimana tidak percayanya ia saat pertama kali sejak beberapa tahun silam, akhirnya bertemu kembali dengan Dera tiga hari yang lalu. Aneh, memang. Namun, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, kenapa baru sekarang? Kenapa cowok itu baru kembali dan meminta maaf padanya sekarang, di saat kejadian yang dulu hampir membuat Lisa kehilangan apa yang selalu dijaganya, hampir berhasil ia lupakan.

Buruknya lagi, selama tiga hari ini, tidak ada satu hari pun yang terlewatkan tanpa Dera mengganggunya. Telepon, Line, video call, semuanya memenuhi notifikasi ponsel Lisa. Bahkan, kemarin ia sampai mematikan ponselnya seharian karena merasa sudah tidak tahan lagi. Namun, begitu kembali diaktifkan, hal pertama yang ia lihat adalah; 89 panggilan tidak terjawab dan 231 pesan Line yang semuanya dari cowok itu dengan maksud dan isi yang sama; Minta maaf. Udah gila kali tuh orang, pikirnya kemarin.

"AH SEBEL!!" Lisa berteriak, membuat Rio yang tengah asik memainkan permainan coc di sebelahnya menoleh bingung.

"Kenapa?" Rio menghentikan permainannya, menatap Lisa penuh kebingungan.

Lisa memukul mejanya pelan. "Kenapa sih dia baru balik sekarang? Dari dulu kemana aja?!" Katanya tanpa sadar, lalu menundukkan wajahnya di atas meja.

Rio makin bingung, jelas karena dia tidak tahu maksud dari ucapan Lisa barusan. Entah kenapa, membuatnya merasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seakan ada yang mengganjal di dalam dada. "Dia siapa maksud lo?"

"Cowok sialan yang udah ninggalin gue gitu aja." Kali ini, suara Lisa terdengar pelan dan lirih. Seakan-akan kalau ia sedang menjelaskan apa yang dirasakannya saat ini melalui kata-kata.

"Namanya?" Tanya Rio lagi.

"Der–" Lisa mengangkat kepalanya, terdiam selama beberapa saat. Mulai sadar kalau ia sudah berbicara melantur terlalu jauh. Aduh Lis, bego banget sih jadi orang!

Lisa mencoba untuk bersikap biasa sambil berdeham, menghilangkan tingkah bodohnya yang hampir membuat Rio tahu rahasia yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. "G-gak, bukan siapa-siapa."

"Serius?" Rio tahu jelas kalau Lisa sedang berbohong kali ini, raut wajahnya terbaca dengan sangat jelas. Seandainya Lisa tidak dulu sadar dengan ucapannya, mungkin orang yang dimaksud gadis itu sudah ia ketahui saat ini.

Lisa mengangguk. "Iya."

Dan tanpa basa-basi lagi, Lisa beranjak dari bangkunya dan keluar kelas. Meninggalkan tanda tanya dan rasa penasaran yang begitu besar di dalam diri Rio.

•••

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak empat puluh lima menit yang lalu dan Lisa juga sudah berada di dalam taksi menuju rumahnya. Lagi-lagi, dalam kurun waktu kurang dari satu menit, ponselnya kembali bergetar dan memunculkan nama Dera sebagai orang yang meneleponnya.

Niat ingin memencet tanda merah–menolak panggilan–Lisa malah tidak sengaja memencet tanda hijau sebagai tanda kalau ia menerima panggilan dari Dera. "Mampus gue, mampus gue!"

"Lis..."

Suara Dera terdengar jelas sekali di ponselnya, buru-buru Lisa mematikan sambungan telepon tersebut dan bernapas lega. Menurutnya, itu cowok pasti bakal tinggi hati sekali karena ketidaksengajaan tangannya yang tiba-tiba menerima panggilan telepon darinya. Kalau sudah tinggi hati, pasti tidak lama lagi Dera akan merasa kalau dirinya akan memaafkan cowok itu. Lisa mendecih pelan, membayangkannya saja sudah membuat ia mual.

"Berhenti di sini, Pak," sahut Lisa saat taksi yang ditumpanginya sudah sampai di depan rumahnya. Setelah memberikan satu lembar uang lima puluh ribu kepada sang supir, Lisa buru-buru turun dan hendak masuk ke dalam rumah, sebelum suara seseorang dari arah belakang memanggil namanya.

Lisa memejamkan matanya sambil membalikkan tubuh secara perlahan-lahan. "Jangan dia, jangan dia," gumamnya pelan.

Namun, harapan tinggalah harapan karena begitu Lisa membuka matanya, objek pertama yang ia lihat adalah Dera yang sedang berdiri menjulang beberapa langkah di hadapannya. Lengkap dengan seragam sekolahnya sekaligus jaket bomber berwarna hitam yang sedang dipakainya.

"Ternyata bener." Dera tersenyum tipis.

Lisa menghela napasnya berat, bahkan cowok itu pun tidak berniat untuk menyerah setelah ia mengabaikan seluruh usahanya yang ingin mendapatkan maaf. Sampai mencari tahu rumahnya pula. "Mau apa sih?"

Dera perlahan melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan Lisa, namun gadis itu menajamkan matanya, tidak memberikan izin untuk cowok itu melakukannya. "Oke-oke, dari sini juga cukup."

"Yaudah cepet, ada yang mau lo omongin kan?" Lisa melipat kedua tangannya di depan dada sambil memerhatikan sekeliling, tidak mau menatap Dera. "Waktu lo cuma dua menit."

Lagi-lagi Dera tersenyum, waktu dua menit tentu saja cukup untuknya daripada tidak sama sekali. Dari dulu, ia memang sangat tahu kalau Lisa tidak akan sejahat itu dengannya, walaupun gadis itu bersikap seolah-seolah memang seperti itu.

"Tolong kasih gue kesempatan," kata Dera, suasana mulai serius di antara mereka. "Kasih gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kesalahan gue di masa lalu, biarin gue memperbaikinya sekarang. Tolong, Lis, dari dulu lo tau gimana perasaan gue buat lo."

Suara tawa sinis Lisa nyaring terdengar, menatap Dera penuh amarah dan kekecewaan yang begitu besar. "Gak ada gunanya lo ngomong itu sekarang. Udah basi."

"Gue tau, Lis, biarin gue perbaiki semuanya. Tolong kasih gue kesempatan, kalo emang setelah itu gue gak berhasil dapetin maaf dari lo, gue bakal pergi. Gue janji gak akan ganggu-ganggu lo lagi." Dera akhirnya mendekati Lisa, mengikis sedikit demi sedikit jarak di antara mereka. "Please..."

Lisa menatap Dera, menatap tepat di manik mata cowok itu yang hanya memancarkan keseriusan dan penyesalan. Pertahan Lisa perlahan mulai runtuh, menyisakan sebagian dari rasa amarahnya yang juga sudah mulai terkikis sejak Dera selalu berusaha untuk mendapatkan maaf darinya.

Tanpa menghiraukan Dera lagi, Lisa berlari masuk ke dalam rumahnya. Bersamaan dengan meluruhnya air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya.

••••••

January 1, 2017.

Broken Over RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang