Part 26

2.4K 253 14
                                    

            Beberapa jam setelah perang dingin antara dirinya dengan Alice terjadi, Lisa tidak banyak berbuat apa-apa selain berdiam diri di atas kasur dengan memeluk kedua lututnya. Menundukkan kepala dengan tubuh yang bergetar. Ia merasakan panas, sesuatu ingin keluar dari pelupuk matanya kalau-kalau ia tidak mampu menahannya lagi.

Lisa mengira, ia adalah gadis paling kuat dan tegar. Mengingat, ia sudah berhasil melalui masa-masa sulitnya di masa lalu. Namun siapa sangka, sosok paling kuat dan tegar yang ia kira, justru adalah sosok yang paling menderita dan tersakiti. Alih-alih bahagia, ia hanya merasakan kesedihan yang tiada tara. Berbagai macam masalah, mulai dari yang terkecil, sampai yang terbesar menghampirinya. Seakan-akan sedang mengejeknya kalau ia memang bukanlah seseorang yang patut untuk bahagia.

Takdir sedang menertawai dan mengujinya, karena nyatanya, Lisa bukanlah seorang gadis remaja yang kuat. Masih sama seperti anak-anak pada umumnya, cengeng dan suka memendam apa yang dirasakannya. Gadis itu tertawa, tersenyum, bahkan bertingkah seolah-olah ia adalah orang yang paling bahagia. Namun, justru kebalikannya yang ia rasakan. Semua itu topeng, untuk menutupi apa yang dirasakannya selama ini.

Tidak ada yang tahu akan hal itu, bagaimana hancurnya Lisa saat ini. Dan tidak ada yang tahu pula bahwa gadis itu menyimpan rasa penasaran dan keingintahuan begitu besar pada sesuatu. Sesuatu yang tentu saja akan menjadi penengah dari teka-teki hidupnya selama ini.

***

Suara ketukan pintu dan panggilan seseorang membuat Lisa mengangkat kepalanya. Itu adalah suara Rita. Ia menatap ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Gadis itu tersenyum samar, bahkan ia melewatkan jam makan siang dan makan malamnya. Tidak mandi dan tidak melakukan pergerakan apapun. Benar-benar hanya terdiam di atas kasur layaknya sebuah patung yang baru dipahat. Miris, ia mengasihani dirinya sendiri.

"Lisa, kamu nggak apa-apa?" Suara Rita kembali terdengar, bahkan masih terdengar begitu halus dan lembut walau di dalamnya mengandung rasa cemas dan khawatir mengenai kondisi anak gadisnya. "Lisa, kamu dengan Mama, 'kan?" Pertanyaan sama kembali diajukan Rita, hampir lebih dari belasan kali sepanjang hari.

Lisa kemudian beranjak dari kasur dan menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Rambut kusut, mata sembab, wajah memerah. Entah apa ia berani untuk berhadapan dengan Rita dalam kondisi seperti itu? Yang ada, mamanya itu malah akan menginterogasinya dengan berbagai macam pertanyaan. Takut kalau sesuatu yang buruk terulang kembali.

Lisa kemudian mendapatkan sebuah ide, segera diambilnya sebuah novel lama yang sejak dulu merupakan buku favoritnya. Bercerita tentang kehidupan seorang wanita metropolitan yang ternyata berakhir dengan sedih dan tragis. Berbagai macam masalah menghampiri wanita itu, percintaan, keluarga, pekerjaan, semua terenggut darinya. Bahkan, Lisa tidak pernah tidak mengeluarkan air mata kalau sedang membaca novel tersebut. Seolah-olah, sang penulis yang berinisial S.T itu memang sengaja mengemasnya dengan sedemikian rupa agar pembaca mampu ikut masuk  ke dalamnya.

Beberapa saat setelah novel tersebut berada di tangannya, Lisa langsung membuka pintunya yang terkunci. Rentetan ucapan syukur langsung didengarnya dari bibir Rita, wanita itu menatap Lisa dalam dan tersenyum kecil.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rita begitu mendapati bahwa wajah anak gadisnya itu terlihat seperti habis menangis, matanya bengkak. "Lagi ada masalah?" tanyanya lagi sambil masuk ke dalam kamar dan menarik tangan Lisa, membawa gadis itu agar ikut terduduk di atas kasur, dengan posisi berhadap-hadapan. Layaknya seorang teman.

Lisa menggeleng, kemudian ia tertawa. "Mama ngomong apa sih?" bantahnya, lalu menunjukkan novel yang ia pegang sebagai senjata untuk berbohongnya kepada Rita. "Ini, lho, Lisa abis baca novel ini. Sedih banget, sad ending. Lisa sampe kasihan sama pemeran utamanya, menderita banget hidup dia."

Broken Over RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang