Part 27

2.2K 266 17
                                    

Lisa tidak banyak bicara ketika dirinya sampai di salah satu rumah sakit kawasan Jakarta, rumah sakit yang biasa rutin dikunjunginya empat bulan sekali. Hal itu sudah mulai dilakukannya sejak kurang lebih dari tiga tahun yang lalu, saat dirinya hendak naik ke kelas tiga SMP. Tentu saja, setelah kejadian yang hampir saja membuatnya kehilangan satu-satunya harta yang ia miliki. Masa depannya.

Lisa tidak ingin, benar-benar tidak ingin hal itu terjadi. Namun sayang, takdir berkata lain. Dan sekarang, ia harus menanggung akibat dari kejadian itu. Yang sampai sekarang, selalu membuatnya menderita, selalu membuatnya harus berada di bawah pengaruh obat, di bawah pengawasan dokternya.

Dokter Ranika tersenyum, ia bangkit berdiri dari duduknya dan menghampiri Lisa yang masih enggan untuk membuka suara. Ia tahu apa yang tengah dirasakan gadis itu. "Kamu butuh privasi?" tanya Dokter Ranika, sambil diliriknya Rita yang sedari tadi juga tidak henti-hentinya memohon kepada Lisa untuk segera memulai percakapan. Seperti biasa, seperti yang dulu selalu dilakukannya setiap kali ke tempat tersebut.

Rita yang mengerti maksud Dokter Ranika, sepertinya terlihat keberatan. Tentu saja ia ingin tahu apa yang sedang mengganggu pikiran anak gadisnya itu. Namun, Dokter Ranika tersenyum, seakan mengatakan kalau Lisa akan baik-baik saja di tangannya. Rita mendesah pelan, akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan, setelah mengelus rambut Lisa sejenak.

"Jadi...." Dokter Ranika menatap Lisa dalam, sambil dibacanya raut wajah gadis itu dengan kemampuan medisnya yang telah lama ia kuasai dibidangnya.

Di hadapan Dokter Ranika, sebenarnya Lisa sulit untuk menyimpan perasaan yang dipendamnya dan bersikap seolah ia baik-baik saja, tidak mempunyai masalah. Namun, ada begitu banyak yang ingin ia sampaikan, tapi enggan dirasakannya. Seakan ia memang tidak mempunyai kekuatan untuk itu, juga takut dengan kebenaran yang akan ia dapatkan. Dokter Ranika merupakan sahabat mamanya, yang tentu saja sudah pasti tahu betul bagaimana perjalanan hidupnya. Bagaimana ia akhirnya mempunyai anak bernama Lisa. Dirinya.

Sungguh, Lisa belum siap untuk mengetahuinya.

"Jangan sampai sesuatu yang mengganggu kamu, dijadikan suatu kesempatan bagi kelemahan yang kamu punya untuk datang kembali," sahut Dokter Ranika, sambil diambilnya buku catatan medis milik Lisa. Di situ tertulis bahwa terakhir kali gadis itu menemui dan konsultasi padanya, sekitar delapan bulan yang lalu. Itu artinya, Lisa melewatkan satu pertemuan dengannya.

"Lisa cuma gak mau ketergantungan sama obat itu. Lisa capek!" suara Lisa terdengar lantang, namun juga lirih di waktu yang bersamaan. Dokter Ranika tersenyum samar. Sungguh, ia begitu iba. "Lisa menderita setiap kali penyakit itu kambuh, menderita setiap kali rasa cemas dan takut terus membayang-bayangi Lisa kapan pun dan di mana pun itu. Lisa cuma mau jadi anak normal, yang gak perlu ngerasain gimana menderita dan tersiksanya Lisa untuk gak ngelakuin hal-hal yang bisa membahayakan nyawa sendiri!"

Air mata Lisa menitis perlahan, membasahi wajahnya. Perasaan yang selama ini dipendamnya, keluar tidak terbendung. Ia menunduk, membiarkan air mata jatuh mengenai pakaiannya. Dokter Ranika kontan memeluk tubuh Lisa, membiarkan tubuh gadis itu bergetar menelan gemuruh dalam pelukannya.

Di dalam pelukan Dokter Ranika, Lisa benar-benar tidak kuasa menahan tangisnya. Seolah-olah, memang ia sedang berbagi cerita atas rasa gundah dan gelisahnya yang akhir-akhir ini makin mengganggu. Tapi, di antara derai air mata yang kian meluruh, dia tersenyum samar. Mengasihani dirinya sendiri yang bahkan lebih gelap dari warna hitam. Juga, mengasihani asal-usulnya yang sampai saat ini masih belum terjawab.

Dokter Ranika menangkup wajah Lisa dan menghapus air mata gadis itu. "Kamu gak perlu takut, semuanya akan baik-baik saja. Tante jamin itu," katanya lembut. "Kalau kamu memang belum bisa menceritakannya, tidak masalah. Yang penting, kondisi fisik dan mental kamu tidak terganggu. Jangan sampai masa-masa sulit kamu dulu, terulang kembali."

Lisa mengangguk kecil, memahami apa yang Dokter Ranika sampaikan untuknya. Kemudian, dokter itu kembali mengatakan bahwa kelemahan ada untuk membuat kita semakin kuat. Maka dari itu, kita harus bisa menghadapinya, melawannya untuk membuat kelemahan itu tahu bahwa diri kita lebih kuat dibandingnya.

"Apapun itu masalah yang mengganggu kamu sekarang, tolong jangan terlalu dipikirkan. Tante mohon dengan sangat." Dokter Ranika menyentuh tangan Lisa dan mengelusnya lembut. Kemudian, ia mengambil kertas resep di atas mejanya dan menuliskan sesuatu di sana. "Jangan putus minum obat ini. Kamu tahu sendiri 'kan apa akibatnya nanti?" tanyanya sambil menyodorkan kertas resep tersebut kepada Lisa yang segera diterima olehnya.

Lisa mengangguk, segera dihapusnya sisa-sisa air matanya menggunakan tangan. Ia tersenyum kepada Dokter Ranika dan tidak mengatakan apa-apa. Lagi.

"Untuk saat ini, lakukan sesuatu yang bisa membuat kamu lupa dengan hal-hal yang sedang mengganggu kamu," kata Dokter Ranika, segera dibukanya pintu ruangannya kembali. Tidak lama kemudian, Rita masuk ke dalamnya, dengan wajah penuh cemas dan khawatir begitu melihat mata Lisa kembali sembab. Seperti semalam, kali terakhir ia melihatnya dengan kondisi yang sama.

"Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Rita, membungkukkan tubuhnya di hadapan Lisa dengan kedua kaki bertumpu di atas lantai.

Lisa mengangguk cepat, membuat Rita bernapas lega.

Dan entah efek dari kata-kata Dokter Ranika yang memang menyemangatinya, tetapi Lisa jauh lebih tenang. Rasa tertekan di dalam dirinya seakan terangkat sebagian. Tapi, tentu saja tidak semudah itu.

Masih banyak yang akan dilaluinya nanti. Mengenai takdir dan kenyataan.

••••••

Sebenernya, ini tantangan tersendiri buat aku nulis bagian cerita yang berhubungan sama dokter dan rumah sakit. Takut ada salah-salah kata dan pengetikan hahaha.

Jangan lupa vote dan comment;)

January 15, 2016.

Broken Over RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang