Part 29

2.3K 245 20
                                    

            "Jadi, lo ngajak gue keluar, tapi lo sendiri gak punya tujuan?" Suara Lisa terdengar ketus, dipandangnya Dera dengan tatapan mendelik dan bete. Yang benar saja, saat ini, keduanya hanya diam di dalam mobil, setelah cowok itu mengajaknya untuk mengisi bensin mobil. Lalu, setelahnya? Bah, benar-benar membosankan. Pemandangan yang dilihatnya sejak tadi hanyalah kendaraan-kendaraan yang keluar-masuk pom bensin. Dan ya, mobil Dera berhenti, tepat di seberang tempat itu.

Kalau tahu akan berakhir seperti ini, Lisa lebih baik di rumah saja deh. Masa bodo dengan Alice yang sudah pasti akan membuatnya darah tinggi. Toh, dia bisa melanjutkan maraton film-nya di dalam kamar.

"Sori, gue terlalu speechless karena lo mau gue ajak keluar." Dera melontarkan pembelaannya, ia memang benar-benar kaget begitu Lisa memberi sinyal padanya bahwa ia membolehkan Dera untuk main ke rumahnya. Setelah diabaikan berkali-kali, tentu saja ia senang dan tidak sempat memikirkan tujuan yang pas untuk dikunjunginya bersama gadis itu.

"Tapi gak gini juga." Lisa kembali protes, kali ini wajahnya benar-benar ditekuk habis. "Gimana mau gue maafin kalo lo gak ada usahanya." Lisa membuang pandangannya ke segala arah, sambil ditahannya senyum yang hendak tercetak di bibir.

Dera mengerjapkan matanya, sesaat kemudian matanya berbinar terang, warna kuning keemasan seolah berkelap-kelip di dalamnya. "Oke!" tubuhnya menegak dan kedua tangannya dengan cepat memegang kemudi. "Jadi, lo mau gue ngelakuin apa? Gue pasti akan lakuin itu demi mendapatkan maaf dari lo. Apapun."

"Apapun?" Lisa memastikan.

Dera mengangguk. "Apapun."

Lisa kontan menyunggingkan seringaiannya, ia tahu apa yang akan dilakukannya pada Dera.

***

Dera itu, sebenarnya merupakan tipikal cowok yang cuek dan enggan bersosialisasi dengan orang sekitar. Mau itu di sekolah atau di lingkungan luar, kalau yang namanya sudah dekat dengan satu orang, ya pasti hanya orang itu saja yang selalu didekatinya atau bahkan yang diajaknya bicara.

Dulu, sewaktu SMP, teman dekatnya saja hanya Rio. Dari kelas tujuh sampai kelas sembilan, teman sebangkunya pun merupakan orang yang sama, karena sistem di sekolahnya dulu itu tidak mengubah-ubah murid di tiap kelas. Jadi, yang bisa bersosialisasi dan berinteraksi ya terus saja seperti itu dan mendapatkan teman yang banyak. Sedangkan yang tidak bisa, hanya main dengan yang itu-itu saja. Syukur-syukur kalau punya, kalau tidak sih terima nasib saja.

Lain halnya dengan Rio, cowok itu merupakan tipikal cowok yang pandai bergaul, yang sama orang baru kenal pun sudah seperti kenal lama. Orangnya juga pede, jadi tidak ada halangan baginya untuk tidak mempunyai teman dan masuk ke kalangan kasta atas. Maka dari itu, Rio selalu menjadi salah satu cowok populer dan Dera selalu menjadi sosok misterius di SMP-nya dulu. Kalau bukan karena Rio yang selalu mengajaknya ikut bergabung dengan teman-teman barunya, mungkin masa-masa sekolah menengah pertamanya itu tidak ada yang bisa dikenang.

Sebenarnya sih, Dera bukan cowok pendiam, juga bukan seseorang yang suka menyendiri. Hanya saja, dia tidak terlalu suka berada di dalam keramaian dan kebisingan. Ia lebih suka ketenangan, dengan tidak banyaknya orang yang ingin tahu dan mengorek-ngorek banyak hal mengenai dirinya. Setiap orang memang mempunyai karakter dan sifat yang berbeda, makanya Dera benci sekali kalau disebut-sebut sebagai cowok sombong dan pendiam. Mereka hanya tidak bisa membedakan saja mana yang namanya pendiam dan ingin ketenangan.

Satu lagi, Dera itu sangat takut dengan ketinggian. Makanya, begitu tahu bahwa alasan utama dari Lisa tiba-tiba memintanya untuk dibawa ke Taman Mini, tubuh Dera langsung lemas seketika. Tentu saja gadis itu sedang mengerjainya. Sial, pikirnya.

"A-apa gak ada permainan yang lain?" tanya Dera tergagap dengan wajah pucatnya, Lisa menahan tawa, benar-benar menikmati apa yang sedang dilakukannya pada cowok itu.

Lisa menggeleng, wajahnya pura-pura ditekuk. "Engga ada, pokoknya lo harus naik itu." Lisa menunjuk arena permainan outbound menggunakan jari telunjuknya.

"Tapi lo tau kalo gue–"

"Takut ketinggian?" potong Lisa, Dera mengangguk lemah. "Katanya mau lakuin apa aja untuk dapetin maaf dari gue? Itu dia–salah satu syaratnya." Lisa memicingkan matanya, menatap Dera penuh curiga. "Apa jangan-jangan, dari awal lo emang gak niat sama sekali, ya?"

"Bu-bukan gitu!" suara Dera terdengar begitu yakin.

"Terus apa?"

Dera diam saja, tidak menjawab. Dilihatnya outbound di depannya yang tingginya kurang lebih sepuluh meter. Ia menelan air liurnya dengan susah, serius deh, Dera itu takut dengan ketinggian. Bahkan, dulu pernah, saat ia dengan Rio berenang di salah satu stadion renang yang menyediakan arena lompat indah yang tingginya tersusun dari yang paling rendah sekitar dua meter, yang sedang lima meter dan yang paling tinggi sepuluh meter.

Saat itu, Rio mengajaknya untuk pemanasan terlebih dahulu dari tempat yang paling rendah–dua meter–kalian tahu apa yang terjadi sesaat setelah Dera mengatakan bahwa ia menyerah? Rio mendorongnya dari belakang secara tiba-tiba, yang membuat ia hampir saja tenggelam karena kaget dan tidak bersiap-siap. Apa lagi, kedalaman kolam itu mencapai lima meter. Untung saja, berkat kemahirannya dalam berenang, juga karena temannya itu mendorong dari spot yang paling rendah, kalau tidak, sudah bisa dipastikan bahwa Dera sudah kehabisan napas dan tinggal nama saja. Menyeramkan, bukan?

"Jadi lo gak mau nih?" Suara Lisa terdengar mengancam, dilihatnya Dera yang sudah mengeluarkan banyak keringat, walau cuaca saat ini yang tadinya panas terik, sudah berubah menjadi sedikit berawan dan dingin. "Kalo gak mau, gak akan gu–"

"Oke!" Dera memberikan ponsel dan dompet kulit berwarna hitamnya kepada Lisa, setelah ia mengambil satu lembar uang lima puluh ribu untuk dipakainya membeli tiket. "Demi sebuah permintaan maaf!" ucapnya sungguh-sungguh, lalu berjalan meninggalkan Lisa ke arah loket.

Sepeninggalan Dera, Lisa tertawa puas melihat perubahan wajah cowok itu yang sangat drastis. Kalau bukan karena sedang ber-akting, sudah pasti Lisa akan tertawa langsung di depan wajahnya. Kasihan juga sih sebenarnya, karena itu sama saja dengan tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi, yaudah lah, sekali-kali tidak masalah.

Dari kejauhan sana, giliran Dera sudah tiba. Cowok itu benar-benar terlihat sangat pucat, di saat penjaga outbound tersebut mulai memasangkan beberapa pengaman yang harus dipakai di tubuhnya. Lisa bukannya ingin balas dendam kepada Dera karena ulahnya dulu, bukan sama sekali. Ia hanya ingin tahu seberapa keras dan besarnya keinginan cowok itu untuk mendapatkan maaf darinya. Hanya itu saja, tidak lebih. Lisa juga tidak sejahat itu, walau ia tahu bahwa apa yang tengah dilakukannya dengan Dera sekarang juga sudah termasuk jahat. Dalam hati, Lisa tertawa terbahak-bahak.

"DERA, SEMANGAT YA!" Kedua tangan Lisa membentuk sebuah bulatan di mulutnya, agar suaranya terdengar lebih keras dan sampai hingga Dera yang kini hendak menaiki tangga melalui batang pohon. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya, benar-benar menikmati raut wajah takut Dera yang terlihat sangat lucu di matanya. Cowok itu hanya bisa tersenyum pasrah, semangat dari Lisa tidak berpengaruh sama sekali melawan rasa takutnya akan ketinggian.

"Mohon bersabar, ini ujian–ujian dari cewek yang lo sayang." Dera berbicara kepada dirinya sendiri. Sesaat kemudian, langsung melawan rasa takutnya akan ketinggian.

Jauh di bawah sana, Lisa menyunggingkan senyumnya.

Ia telah memaafkan Dera, jauh sebelum ini.

••••••

Gaes, writers block mulai melanda. Jadi aku bakal update 2 atau 3 hari sekali mulai sekarang;(

January 18, 2016.

Broken Over RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang