Suara ketukan di pintu rumahnya membuat Rio langsung menebak bahwa itu pasti adalah Dera. Tanpa menunggu lama lagi, ia langsung membukanya. Dan ternyata benar, Dera sudah berdiri di depan pintunya. Rio mempersilahkan temannya itu untuk masuk, lalu menuju ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa kulit berwarna emas.
"Kenapa lo?" tanya Rio begitu kedua bola matanya melihat Dera yang duduk terkapar di atas sofa dengan lehernya yang disenderkan, menghadap ke langit-langit rumah.
Dera menghembuskan napasnya berat sembari memejamkan mata. Cowok itu lelah, lelah fisik dan batin. Lelah fisik karena sudah beberapa hari ini, setiap pulang sekolah, ia langsung melakukan tugasnya sebagai mata-mata dadakan. Mengikuti Lisa secara diam-diam kemana pun gadis itu pergi, mau itu sampai ke ujung dunia dan memakan waktu lama, tetap akan ia lakukan. Dan untuk yang lelah batin, tentu saja karena gadis itu selalu mengabaikannya. Seolah-olah, kehadirannya memang sangat mengganggu dan tidak diinginkan.
Dera memang sadar diri, setelah apa yang pernah dilakukannya dulu, memang tidak mudah baginya untuk langsung mendapatkan maaf. Apa lagi, sampai hampir membuat Lisa harus mengalami sesuatu yang seharusnya tidak dialami oleh gadis seumurannya, juga efek samping dari kejadian tersebut yang sampai saat ini sangat membuat Dera merasa bersalah kalau ia kembali mengingatnya. Sungguh, ia sangat menyesal dan sangat merasa bersalah. Namun, ia bisa apa? Berharap agar waktu bisa terulang kembali dan merubah itu semua? Tidak mungkin, bukan?
"Lo kenapa sih?" Rio kembali mengulang pertanyaan karena Dera tidak kunjung menjawab, bahkan kalau dihitung-hitung, sudah hampir tiga menit ia menunggu. "Kalo kesambet jangan ke rumah gue dong, horror banget elah."
"Kesambet muka lo?!" Dera membuka matanya lebar-lebar, lalu menatap Rio tajam sembari memberikan satu pukulan kecil di kepalanya. "Gue cuma lagi pusing aja."
"Emang lo bisa pusing?" Rio sepertinya tidak menangkap nada serius di dalam ucapan Dera, cowok itu malah menatap temannya dengan pandangan seolah-olah sedang dalam mode ingin bercanda.
"Gue lagi serius," cetus Dera.
Rio pun akhirnya manggut-manggut, mulai menganggap Dera serius, walau sebenarnya sedari tadi temannya itu memang serius. Hanya saja, ia telat menerima sinyalnya.
"Ada apaan?" tanya Rio. "Masalah cewe?"
Dera mengangguk lemah, membuat Rio terkekeh geli. Benar-benar ya, itu cowok memang tidak bisa diajak serius. Namun, beberapa detik kemudian, setelah melihat raut wajah Dera yang memang benar-benar tidak bohong dan entah benar atau tidak terlihat begitu sedih, Rio kembali mencoba untuk serius.
"Emang gara-gara apa?"
"Kesalahan di masa lalu."
"Ya ... terus?" Rio tidak mengerti sama sekali.
Dera mendelik. "Allah, salah tempat gue kayanya," katanya sambil mengelus dada, sabar-sabar.
"Sebenernya gak salah sih kalo lo ngomongnya jelas," Rio membela diri, tidak mau disalahkan. "Anak monyet juga gak bakal ngerti kalo lo cuma bilang kesalahan di masa lalu."
Dera kontan terdiam, omongan Rio memang ada benarnya sih. Tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, Ia tidak mau bercerita terlalu dalam, temannya itu memang tidak tahu sama sekali mengenai apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Benar-benar tidak tahu walau mereka selalu sama-sama dari SD dan SMP.
"Yaudah lupain aja."
"Bener nih gak mau cerita lagi?" tawar Rio, siapa tahu saja kalau memang temannya itu berniat untuk kembali bercerita, ia bisa bantu. Ya, walau tidak bisa janji juga sih, soalnya ia juga lagi memiliki masalah yang sama dan cukup pelik seperti Dera. Sama-sama masalah perasaan. Bedanya, mungkin sekarang hubungannya dengan Lisa sudah mulai ada tanda kemajuan. Gadis itu juga sudah mulai terbuka, sedikit demi sedikit. Buktinya, sudah mulai banyak omong walau tetap jutek. Tapi, bagi Rio sih itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
"Bentar deh," kata Dera tiba-tiba, ia baru teringat akan sesuatu. "lo di rumah aja dari tadi?"
"Iya," Rio mengangguk cepat. "Kenapa emang?"
"Serius?" Dera masih tidak percaya, rasanya sosok cowok yang bersama Lisa saat di mal tadi benar-benar seperti temannya itu. bahkan, postur tubuhnya saja sama betul. "Lo gak abis belanja sama cewek kan?"
"Kagak," kata Rio sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, membentuk angka dua yang menandakan bahwa ia serius.
"Ah, bohong aja lo."
"Serius anjing."
"Sumpah, gue tadi ngeliat orang mirip banget sama lo." Dera menegakkan tubuh sambil membuka jaketnya, menyisakan baju putih polos yang ia gunakan sebagai dalaman.
"Ngaco aja lo."
"Tapi sumpah deh," kata Dera lagi.
"Sumpah apaan lagi?" tanya Rio.
"Sumpah gue aus banget." Dera memegang tenggorokannya sambil menelan air liurnya, lalu mengibaskan-ngibaskan tangan.
"Bangsat!" seru Rio, ia pun langsung berjalan menuju dapur dan kembali lagi dengan kedua tangan yang masing-masing menenteng satu liter botor air dingin dan gelas. Dengan perlahan ia menaruhnya di atas meja.
"Itu baru tuan rumah." Dera tertawa kecil, lalu mulai menuang air tersebut ke dalam gelas dan menenggaknya sampai habis. "Gimana cewe yang lo suka? Ada kemajuan?"
Raut wajah Rio mendadak berubah 180 derajat, menjadi cerah, beserta senyum di bibirnya merekah begitu lebar. Seakan-akan menandakan bahwa perkembangan hubungannya dengan Lisa kali terakhir ia bertemu denga Dera saat cowok itu berulang tahun, sudah maju begitu pesat. "Banget!" jawabnya penuh semangat.
"Masa?" ledek Dera. "Siapa namanya? Gue lupa."
"Lisa." Dengan bangganya Rio menyebutkan nama gadis tersebut, Dera pun memanggutkan kepalanya, namun tidak berselang beberapa detik, kedua matanya melebar.
"SERIUS?!"
"Iya, kenapa sih?" Rio malah kebingungan.
"Cewek yang gue maksud juga namanya Lisa!" suara Dera begitu lantang terdengar, tentu saja ia terkejut.
"Lah anjing!" Rio sama terkejutnya dengan Dera, sungguh kebetulan yang sangat aneh, pikirnya. "Kok bisa samaan?!"
Dera mengedikkan bahunya. "Kapan-kapan harus kita ajak keluar bareng! Lo ajak Lisa elo, gue ajak Lisa gue!"
Rio mengangguk cepat, menyetujui pernyataan dari Dera yang sepertinya terkesan menarik. Dalam bayangannya, terlihat seperti double date yang akan sangat bersejarah. Jarang-jarang kan seperti itu.
"Eh, tapi serius deh, kok bisa samaan gitu ya namanya?"
"Mana gue tau," kata Rio.
Mereka berdua pun terdiam dan saling pandang. Tidak lama kemudian, tawa keduanya terdengar kencang di dalam rumah. Sepertinya menikmati kesamaan mereka yang benar-benar aneh.
Well, keduanya memang tidak ada yang tahu kalau setelah percakapan tidak berfaedah itu, sebuah kebenaran akan terungkap.
Dan juga, kebodohan mereka akan segera berakhir.
••••••
Sebenernya part ini adalah kode kalo ke depannya udah mulai masuk konflik utama. Vote dan comment ditunggu ya!:)
January 10, 2016.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Over Reality
Fiksi RemajaRio Lionel, merupakan gangguan terbesar bagi Lisa dalam menjalani kehidupan sekolahnya di SMA Angkasa Mirta. Setiap hari selalu membuat dirinya kesal dengan berbagai macam tingkah konyol dan bodoh yang dibuat oleh cowok itu. Masalah utama yang membu...