Jakarta, 15 Desember 2008
Kalau ditanya, aku lebih suka kopi atau teh. Aku akan menjawab dengan lantang, kalau aku jatuh cinta dengan setiap tetes kopi. Apa lagi kopi yang mama buat.
Tapi pagi ini aku tidak bisa menyicipi kopi hitam buatan mama. Mama masuk rumah sakit lagi semalam. Keadaan keluargaku sudah kembali normal. Kami sepakat melupakan apapun yang terjadi siang itu di kamar rawat mama.
Pagi ini aku hanya sarapan sendiri di meja makan. Ayah masih menemani mama dirumah sakit. Aku tidak tahu jelas apa yang terjadi pada mama. Aku hanya diberitahu kalau mama sakit, dan butuh cuci darah setiap bulannya.
Tapi rasanya aneh. Akhir-akhir ini mama lebih sering di kamar, dan mama terlihat lebih kurus. Tidak ada yang mau berbicara denganku.
Selesai sarapan, aku merapikan peralatan makanku dan bersiap ke sekolah. Kamu berjanji untuk menjemputku pagi ini.
Aku menunggumu di depan rumah sambil memainkan ponselku. Tidak sampai lima menit, kamu sudah sampai di depanku. Karena memang jarak antara rumahmu dan rumahku hanya berbeda beberapa blok saja.
"Nyokap lo gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana, lagi di rumah sakit."
Aku mengendikkan bahuku, karena aku memang tidak tahu jadinya bagaimana.
"Lo nggak ke rumah sakit?"
"Pulang sekolah kesana kok."
"Gue anter deh, sekalian jenguk nyokap lo."
Aku hanya mengangguk. Tapi entah mengapa, ada perasaan senang. Setelah kedua kali kamu mengantarku pulang dengan motormu, akhirnya kamu berkenalan dengan mama. Dan kenyataan kalau kamu dan mama sudah saling mengenal membuatku tanpa sadar tersenyum sendiri.
"Siap?"
Lamunanku buyar. Menarik ku kembali ke dunia nyata. Mataku menatap punggungmu yang terlapis jaket hitam favorit mu.
"Siap!"
Dan motormu melaju ke arah sekolah.
***
Ayah baru saja menelepon, tepat setelah aku keluar dari kelas saat jam pulang sekolah. Katanya, aku tidak usah datang kerumah sakit. Dirumah saja bersama Mbok Isah.
"Oi, jadi ke rumah sakit?"
Aku menegakkan kepalaku saat merasakan sebuah tangan menyentuh puncak kepalaku. Sudah tahu aku, siapa pelakunya. Kamu. Entah kenapa perilaku kecil itu bisa menjadi kebiasaanmu, dan aku suka.
"Nggak jadi, kata ayah nggak usah kesana."
Kataku sambil menggeleng. Kamu mengerutkan keningmu.
"Ya udah, kalo gitu pergi bentar yuk!"
"Kemana?"
"Kafe langganan gue."
Aku hanya menurut. Mengikuti langkahmu dan duduk di jok belakang motormu.
"Lo suka baca buku kan?"
Kamu bertanya tanpa menoleh, dan sedikit berteriak saat bertanya. Aku mengiyakan dengan balas berteriak. Kebiasaan kita saat di motor. Mengobrol sambil saling berteriak. Dan aku suka kegiatan kita ini.
Helm ku yang sering membentur helm mu. Kamu yang sering bernyanyi dengan suara kencang. Kamu yang lebih suka mengantri di pom bensin yang ramai.
Semua hal tentang kita itu favoritku.
Setelah memarkirkan motormu, kita berjalan bersisian memasuki kafe yang seperti terletak tidak jauh dari rumahku.
Lonceng yang berada di atas pintu berbunyi saat aku memasuki kafe itu. Harum kopi dan buku memasuki indra penciumanku.
Kaca besar yang menghadap jalanan, dan rak buku yang menjulang disisi kanan kafe sudah kutetapkan sebagai spot favoritku.
Aku duduk di dekat kaca besar, dan kamu pergi memesan minuman kita. Aku menatap sekeliling kafe ini.
Etalase kaca yang didalamnya ada berbagai jenis kue. Papan kayu yang berada di bagian atas belakang kasih, tertulis berbagai macam menu. Kasir yang ramah dan selalu tersenyum.
Tempat ini akan menjadi tempat favoritku nantinya.
Kamu kembali ke meja dengan membawa dua cangkir kopi. Ingatanku kembali saat pertama kali kamu memberitahuku, kalau kamu juga menyukai kopi.
"Kopi disini enak banget, recommended!"
Ujarmu sambil meletakkan satu cangkir dihadapanku.
Kita menikmati kopi itu sambil mengobrol. Tentang sekolah, tentang teman-teman, tentang keluarga, dan tentang ekstrakurikuler.
Kamu selalu berhasil membuatku tertawa. Selalu berhasil membuatku tersenyum sepanjang hari.
"Eh iya,"
Saat sedang mengobrol tiba-tiba kamu merogoh tas sekolahmu.
"Happy birthday, Raina!"
Sebuah kotak cantik ada dihadapanku, lengkap dengan pita berwarna merah muda.
Tapi,
Ulang tahun? Memang hari ini tanggal berapa?
"15 Desember kan?"
Aku mengangguk pelan.
Ah sampai lupa aku. Biasanya, tiap pagi di hari ulang tahunku, mama sudah menyiapkan kue. Tapi tadi pagi mama tidak ada, dan aku bisa-bisanya lupa.
Dan Gina tidak memberiku selamat. Bukan apa-apa, selama mengenalnya hampir 4 tahun gadis itu tidak pernah absen memberiku selamat.
"Makasih ya Rei, tapi nggak usah repot-repot kasih kado. Pas lo ulang tahun aja gue nggak kasih kado."
"Jadi nggak diterima nih hadiahnya?"
Aku menatap matamu ragu. Setelah sedikit berdebat, akhirnya aku memilih mengambil kotak itu.
"Thanks ya."
"Dibuka dong."
Katamu, membuatku menaikkan alisku. Dengan pelan, aku menarik ujung pita lalu membuka kotak itu.
Dua buku yang masih di segel ada didalam kotak cantik itu. Aku mengambil buku itu dengan tidak percaya.
Novel yang sedang aku incar!
"Dapat darimana? Dimana-mana udah sold out tau! Belom restock lagi. Kok bisa sih?"
Kamu hanya tertawa melihat kehebohan ku.
"Sama gue mah semua bisa."
"Aduh thanks banget loh ini!"
Baru saja aku mau meletakkan kembali buku itu didalam kotak. Sebuah kertas yang tertempel di dasar kotak, menarik pandangan ku.
Kertas berwarna hitam itu harusnya tidak terlihat, karena dasar kotak itu juga berwarna hitam.
Tapi sebuah tulisan yang berhasil membuatku menahan nafas, tertera diatasnya.
"Gue tau sih ini nggak banget, tapi ya mau gimana gue juga bingung."
Kamu terkekeh sendiri, membuatku menatap matamu.
"Jadi cewek gue ya, Na."
Aku tidak tahu arti dari perkataanmu. Itu pertanyaan atau pernyataan sih, Rei?