Jakarta, 31 Desember 2008
Dua minggu berlalu. Dan tidak ada perkembangan dari kondisi mama. Aku yang kebetulan sedang libur semester, hampir setiap hari berada dirumah sakit.
Biasanya, tahun-tahun sebelumnya. Setiap malam tahun baru, aku, ayah dan mama akan pergi ke puncak. Membakar jagung dimalam hari, sembari menikmati letupan petasan di langit malam.
Tapi tahun ini berbeda. Aku dan ayah duduk bersisian di sofa rumah sakit. Menatap tubuh lemah mama. Semuanya semakin buruk.
Ayah sendiri berusaha terlihat tenang di depanku. Tapi tidak sekali, dua kali aku menemukan mata sembab ayah setelah selesai mandi.
"Raina.."
Aku terlonjak dan langsung berdiri menghampiri mama. Mama menoleh kearahku, senyumnya terlihat lemah.
"Mama mau apa? Mau minum?"
"Nggak sayang.."
Mama mengisyaratkan ku untuk tidur di sisi kanan yang kosong di ranjang rawatnya. Aku menurut. Melingkarkan tanganku di perut mama.
"Mama sayang sekali sama anak gadis mama."
Ujar mama sambil mengusap lembut rambutku. Air mataku langsung menetes mendengarnya.
"Mama ingat sekali. Rasa senang, haru, dan bangga mama saat mendengar suara tangis kamu pertama kali. Kamu menangis kencang sekali, sampai mengalahkan suara hujan malam itu."
"Kamu manggil mama pertama kali, kamu belajar berjalan. Kamu yang nangis ngadu ke mama saat jatuh dari sepeda."
Dadaku nyeri mendengar penuturan mama. Suaranya pelan dan sangat lemah. Aku menatap mama, sedangkan mama menatap langit-langit kamar rawatnya.
"Pertama kali Raina cerita tentang cowok yang Raina suka, pertama kali Raina datang bulan.
Mama senang. Bisa menjadi orang yang pertama kali tahu segala hal tentang Raina."
Satu tetes air mata jatuh, menyentuh pipi mama. Aku menghapusnya.
"Mama jangan nangis,"
"Mama nyesel pernah marahin Raina sampai Raina nangis dan mengurung diri di kamar."
"Nggak ma, kalo mama nggak marahin Raina. Mungkin Raina nggak akan bisa jadi kayak sekarang."
"Mama bangga sama Raina. Raina selalu masuk sepuluh besar di kelas. Maafin mama yang nggak pernah appreciate segala hal yang udah Raina raih."
Mama mengeratkan pelukannya, mencium keningku. Lama, lama sekali.
"Selalu seperti ini ya, nak. Selalu jadi Raina yang baik, Raina yang sayang mama dan ayah, Raina yang selalu membanggakan mama dan ayah.
Raina yang selalu menghargai segala sesuatu. Raina yang selalu bersyukur sama Tuhan."
Aku hanya mengangguk. Tidak bisa mengeluarkan suaraku. Karena, kalau pun aku membuka suaraku, aku tahu hanya isak tangisku yang terdengar.
Malam tahun baru ini aku lewati dengan bercengkrama dengan mama dan ayah. Mengenang masa kecilku, yang walaupun hanya anak satu-satunya tapi aku tidak pernah kesepian.
Mama dan ayah selalu meluangkan waktu untuk ku. Sesibuk apapun mereka. Ayah duduk di kursi yang berada di sisi kiri mama.
Tangan kami bertautan. Dengan telapak tanganku yang berada di tengah.
Malam tahun baru kali ini. Kami berdoa bersama. Mengucap syukur untuk setahun yang sudah berlalu, dan setahun yang akan kami lalui.
Setelahnya, ayah pamit ke minimarket untuk membeli minuman.
Tinggal aku dan mama dikamar. Aku mengeratkan pelukkanku, menikmati usapan lembut mama di puncak kepalaku.
"Mama ngantuk, nak."
"Ya udah, mama tidur dulu aja. Kalau ayah datang, Raina bangunin."
Rasanya, pasokan udara disekitarku menipis. Saat aku menatap mata mama, yang perlahan tertutup. Aku merekam tiap inci wajah mama. Merekam di memori ku dengan baik.
Suara mesin di kamar rawat mama berbunyi. Melengking, dan tidak terputus.
Suara itu mendominasi. Mengalahkan suara kembang api tahun baru.
Aku bangkit berdiri. Berdiri di sisi ranjang mama. Aku mencium pipi mama, lama.
"Jangan sakit lagi, ma. Raina nggak mau mama sakit."
Aku berpindah. Duduk di kursi yang tadi di duduki ayah.
Di awal tahun ini, aku kembali berdoa.
Tuhan terima kasih, mama sudah sembuh. Mama nggak akan ngerasa sakit lagi.
Suara pintu terbuka, dan teriakan panik ayah terdengar di sela-sela doaku.
Tuhan tolong ayah. Beri ayah hati yang besar, agar ayah bisa ikhlas.
Aku masih memejamkan mataku saat ayah menarik ku, menjauh dari mama.
Tuhan, Raina titip mama ya. Maaf kalau Raina belum bisa bikin mama bangga. Maaf kalau Raina masih sering melawan mama.
Ayah mendekapku. Tangis pilu ayah tepat di telingaku. Dadaku rasanya sesak, mengetahui sosok yang biasanya menunggu ku pulang sekolah sekarang tidak ada lagi.
Aku membuka mataku pelan. Rasanya seperti di tenggelamkan ke dasar laut. Susah bernafas.
Mama disana. Terbaring kaku, dengan kain yang sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Seluruh ototku melemas. Membuat kaki ku tidak tahan menopang berat badanku.
Aku jatuh terduduk, dan aku sendiri bisa mendengar suara tangisku dan ayah.
Dan tiba-tiba semuanya gelap.