Cita-cita Yang Tercipta

1.5K 133 1
                                    

Jakarta, 10 Desember 2010

"RAINA!"

Aku mengedarkan pandangan ku, mencari-cari sumber suara yang memanggil namaku. Aku menemukan Gina yang sedang berjalan cepat kearah ku.

"Ke toko buku yuk, novel author favorit gue baru launching nih!"

Aku mengiyakan ajakan Gina. Toh, hari ini adalah hari terakhir Ulangan Semesterku. Jadi aku bisa sekalian mencari bahan bacaan untuk libur panjang kali ini.

Koridor sekolah tampak sesak dengan ratusan siswa yang hendak pulang kerumahnya. Tak sabar menikmati libur panjang.

Langkah kaki kami berhenti di halte bus yang tidak jauh dari sekolah. Ada beberapa anak kelas 10 dan kelas 11 yang juga ikut menunggu bus.

Siang ini bus sangat ramai. Aku dan Gina memilih untuk berdiri di bagian depan bus, dekat dengan pintu keluar. Walau sudah berkali-kali di suruh oleh petugas bus untuk menggeser kedalam, tapi kami berdua tidak mau. Karena akan susah nanti, jika kami terlalu kedalam dan jalanan nya tertutup.

Kami turun di hatle yang tidak jauh dari toko buku. Jalan sepanjang trotoar terlihat sepi sore ini, aku dan Gina jalan bersisian sambil sesekali bercanda.

Sesampainya di toko buku, Gina langsung menyeret ku ke lokasi meet&greet penulis favoritnya.

Setelah membeli dua novel terbaru nya, kami diizinkan masuk. Persyaratan dalam jumpa penggemar kali ini, memang harus membeli satu novel terbaru penulis tersebut.

Kami datang terlambat. Acara sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Gina menarik ku untuk duduk dibarisan tengah saat sesi tanya-jawab berlangsung.

"Nama saya Mona, saya mau nanya kak. Kenapa sih dari berbagai banyak profesi kakak memilih buat jadi penulis?"

"Kenapa ya? Saya juga bingung sih, tapi satu hal yang saya rasakan saat saya menulis itu; saya merasa, saya bisa menjadi apa adanya. Saya nggak perlu malu untuk menunjukkan jati diri saya,

Intinya sih, writing makes me feel free. Bebas."

Satu setengah jam setelahnya, acara ini pun selesai. Setelah terbebas dari ramainya antrian tanda tangan dan foto bersama, aku dan Gina berakhir duduk di kafe sebrang toko buku.

"Gin, gue jadi kepikiran deh cita-cita gue."

"Hah?"

Gina mendongak, mengalihkan pandangannya dari hot chocolate-nya.

"Gue kepikiran jadi auditor."

"Hah? Seriously? Dari sekian banyak profesi, why you choose auditor? Kenapa lo nggak masuk SMK Akuntansi aja kalo gitu?"

Aku mengangkat bahuku.

"Baru kepikiran tadi, mungkin karena ayah kerja di bank."

"Hah? Apa deh, nggak nyambung!"

Aku tergelak.

"Ya intinya gue mau masuk jurusan Akuntansi dulu, mikirin masuk auditor, tax, atau finance-nya nanti aja deh."

Aku menunjukkan senyum paling lebar ku, membuat Gina memutar matanya malas.

"Then catch your dreams, Na. Berarti lo nggak usah uring-uringan lagi ya, lo udah tau tujuan lo."

Tawa ku pecah. Sejak dua bulan lalu aku memang sering mengeluh pada Gina, karena aku belum mengetahui jurusan apa yang ingin ku ambil saat kuliah nanti.

"Mau kuliah dimana lo? Ikut SNMPTN?"

"IKUTLAH!"

Gina mundur sedikit dari posisi duduknya saat mendengar teriakan lantangku.

"Hehehe.. Gue mau nya sih PTN Bandung atau nggak PTN Jakarta. Doain aja ya! Lo jadi PTN yang di Jogja?"

"Doain juga semoga jadi! Ambil HI nih gue!"

"Gue mau Jogja sih, tapi sama ayah nggak boleh. Kejauhan katanya, padahal tante gue ada yang di Jogja."

Aku cemberut.

"Ikutin mau ayah lo aja. Kalo lo ke Jogja, kasihan ayah sendirian."

Gina menepuk bagian atas tanganku yang ada diatas meja.

Ini yang aku suka selama berteman dengan Gina. Gina bukan sosok yang tidak ingin dikalahkan orang lain. Gina adalah sahabat yang mendukung. Apapun yang aku pilih selalu di dukung.

Langit sudah gelap saat obrolan ku dan Gina berhenti, dikarenakan telepon dari mamanya. Setelah memutuskan sambungan telepon, Gina mengantarku pulang terlebih dahulu.

Ayah sedang duduk di sofa ruang tengah saat aku sampai dirumah.

"Yah.."

Panggilku pelan, tidak mau mengagetkan.

"Eh, sudah pulang kamu?"

Aku hanya mengangguk, sebagai jawaban. Lalu duduk disebelah ayah.

"Ayah, aku udah kepikiran jurusan yang mau aku ambil."

"Apa?"

Ayah menoleh.

"Akuntansi, terus nanti ambil auditor. How's it?"

Binar mata senang ayah menatapku lekat.

"It's good. Kampusnya?"

"Udah ada beberapa pilihan sih. Kalau boleh sih mau nya di PTN Bandung. Boleh kan yah kalau di Bandung?"

"Ah itu mah alasan kamu saja, biar dekat sama Rei, kan?"

"Nggak ih, kata siapa.."

Aku mengalihkan tatapanku. Walau sebenarnya kamu cukup berpengaruh terhadap keputusanku. Tapi jauh sebelum ada kamu, aku sudah menetapkan salah satu PTN di Bandung yang ingin aku tuju. Hanya belum tahu jurusan apa yang akan ku pilih.

"Kalau kamu lolos PTN Bandung, kita pindah ke Bandung!"

"Serius, Yah?!"

Anggukan ayah membuatku melompat girang.

"Eh iya, kerjaan ayah?"

"Nanti ayah coba mengajukan ke cabang Bandung aja. Itu urusan gampang deh, yang penting kamu fokus ke sekolah kamu aja. Itu, urusan ayah."

Impianku pindah ke Bandung sedikit lagi tercapai, ma. Nggak apa-apa kan kalau aku sama ayah aja yang pindah ke Bandung?

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang