Tolong

1.5K 128 0
                                    

Jakarta, 31 Januari 2011

Aku mengusap wajah ku. Kepalaku pening, karena terus-menerus membaca tumpukan materi ujian praktek. Walaupun aku suka membaca, aku tetap tidak suka membaca segala hal tentang pelajaran.

Tanganku meraih ponselku yg berada di nakas. Belasan chat dan dua kali missed call dari nomor mu memenuhi layar ponselku. Aku mengernyit, melirik jam dinding. Pukul lima sore, aku bangkit berdiri.

Getaran ponselku menghentikan langkah ku.

Rei :)

"Na kamu dimana?"

Suara panik mu terdengar, bahkan sebelum aku mengucapkan 'halo'.

"Dirumah, kenapa Rei?"

Ah, rasanya kesal setiap kali menyebutkan nama 'Rei'. Kenapa harus berawalan huruf 'R' sih, aku jadi sulit melafalkan nya.

"Boleh minta tolong, Na? Bisa tolong jemput Hana di kafe deket sekolah nggak?"

"Bisa kok, emang Hana kenapa?"

"Kata Hana kemarin malam, mama sama papa berantem lagi. Tadi dia telepon aku, dia nggak mau pulang kerumah dulu katanya. Aku minta tolong ya, Na."

"Ya udah, aku jalan dulu."

Aku menghela nafas. Kasihan Hana, sebentar lagi gadis itu juga akan melaksanakan Ujian Negara sama sepertiku. Tapi harus dibebankan persoalan pertengkaran orang tua nya.

Aku meraih jaket dan menuruni tangga dengan cepat. Ayah yang sedang duduk di ruang tamu bertanya aku ingin kemana, setelah menjawab kalau ingin menjemput Hana. Setelahnya ayah langsung meminta supirnya untuk mengantarku.

Setelah perjalanan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya sampai juga aku di tempat yang kamu sebutkan tadi.

Suara lonceng terdengar saat aku mendorong pintu kafe itu. Hana duduk di bagian pojok, dengan earplug menempel di telinganya.

Aku duduk di hadapannya, membuatnya terlonjak kaget. Aku terkekeh pelan.

"Loh, Kak Raina kok disini?"

"Abang kamu telpon aku tadi,"

Gadis itu cemberut.

"Yuk pulang,"

"Nggak mau."

Tentu saja. Anak mana sih yang tahan dengan pertengkaran orang tua nya.

"Nginep rumah aku yuk!"

Hana menatapku tidak yakin.

"Udah aku bilangin ke abang kamu kok, mau mampir ke rumah dulu? Ambil buku pelajaran?"

Aku meyakinkan gadis itu. Lumayanlah, agar aku punya teman dirumah.

"Nanti aku yang izinin ke mama kamu, yuk!"

Akhirnya Hana mengikuti ku beranjak dari kursi. Hana masih mengenakan seragam sekolah, pasti setelah pulang sekolah Hana langsung kesini.

Setelah mengambil seragam, beberapa pakaian, dan buku pelajaran. Dan juga setelah menjawab pertanyaan dari Tante Rena, yang disertai dengan wajah menyesalnya. Aku dan Hana sampai di rumahku.

Ayah sedang makan malam saat aku dan Hana masuk kedalam rumah. Hana ikut makan malam. Ayah mengajak ngobrol Hana.

Hana memang berbanding terbalik kamu, Rei. Hana yang memang pada dasarnya pendiam, menjadi semakin diam.

Aku mengajak Hana untuk tidur di kamarku. Aku tidak pernah merasakan punya saudara, dan keberadaan Hana disini menghibur ku.

"Kak.."

"Hm.."

Kami sudah merebahkan diri diatas ranjang ku.

"Pendapat kakak tentang orang yang selingkuh gimana?"

Aku langsung menoleh, mendengar pertanyaan Hana. Detak jantungku bisa terdengar oleh diriku sendiri.

"Kok nanya gitu, Han?"

"Nggak apa-apa sih, penasaran aja."

Aku memikirkan berbagai jawaban tepat yang akan katakan.

"Kalau aku sih, nggak akan toleransi sama yang namanya orang selingkuh."

Biarlah sekali-kali aku memiliki acara pillow talk, kapan lagi aku punya teman.

Hana diam. Seolah menunggu aku melanjutkan.

"Karena menurut aku, selingkuh itu habit. Mungkin secara nggak sadar mereka bisa melakukannya lagi. Aku nggak akan kasih kesempatan kedua buat orang yang selingkuh."

"Kalau Bang Rei selingkuh?"

Giliran aku yang terdiam.

"Sama. Karena kalau dia selingkuh, itu tandanya dia nggak menghargai aku. Yang pasti aku kecewa lah, kepercayaan yang aku kasih ke dia, dia hancurin gitu aja."

Entah kenapa, setelah mengatakan itu aku menjadi takut. Takut karena apa, aku pun tidak tahu.

Aku kira, Hana sudah tidur. Karena setelah perkataanku dia hanya merespon singkat.

"Papa selingkuh, Kak. Harusnya aku udah sadar, alasan mama sama papa berantem terus."

Aku memiringkan posisi tubuhku. Menatap Hana yang menatap langit-langit kamarku. Tanganku mengusap kepalanya pelan. Aku tidak punya saudara, aku anak tunggal. Mungkin ini juga menjadi alasan ku mudah dekat dengan Hana, padahal aku sama pendiam nya dengan Hana.

Saat sudah yakin kalau Hana sudah tertidur, aku meraih ponselku dan berjalan keluar kamar menuju dapur.

"Gimana Na?"

Kamu mengangkat telepon ku pada dering pertama, membuat aku yakin kalau kamu sedang menunggu kabar Hana.

"She's fine. Tapi Rei, kamu udah kasih tau Hana tentang papa kamu?"

"Nggak, belum pernah. Hhhh– udah pasti dia tau."

Suara mu terdengar putus asa.

"Emang salah ya aku milih kuliah di Bandung, kalo udah gini Hana jadi sendirian."

"Ya udah, Hana sama aku aja dulu sementara ini. Kamu fokus kuliah aja di sana, jangan ikut kepikiran."

"Maaf ya Na, udah ngerepotin kamu."

"Nggak apa-apa kok, aku juga seneng jadi bisa makin dekat sama Hana."

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang