Hari-hari Yang Berlalu

1.6K 139 1
                                    

Jakarta, 12 Oktober 2009

XI IPS 2
Tiga bulan sudah berlalu sejak aku naik ke kelas 11. Aku menopang dagu ku sambil mendengarkan guru matematika menerangkan materi bab 3. Gina sudah tidur disebelahku, dengan kepala yang dimiringkan menghadapku. Tidurnya tenang sekali.

Tok tok tok

"Misi pak.."

Aku mengernyit heran saat melihat sosok yang tidak asing berdiri didepan pintu kelas ku.

"Ngapain kamu kesini?"

Guru yang sama dan pertanyaan yang sama seperti awal pertemuan kita.

"Mau mampir aja pak, sekalian mau ngasih bekal ke Raina."

Aduh, ini pasti lagi kumat isengnya!

"Nih dari mama,"

Kamu menghampiri mejaku, lalu meletakkan kotak bekal berwarna pink di atas mejaku.

"Kan bisa nanti, Reiiii...."

Aku menatapmu gemas, sambil berbisik.

"Ehem, Reinaldi saya ingatkan, kalau-kalau kamu lupa. Di sekolah ini dilarang untuk pacaran, kamu tau kan?"

Kamu membalikkan badanmu menghadap Pak Guru. Tatapan lelah kamu tunjukkan di depannya.

"Ah bapak kayak nggak pernah muda aja. Saya permisi pak,"

Ini hanya satu dari sekian banyak perilaku tidak terdugamu.

Yang paling membekas di ingatanku adalah saat aku sedang dirumahmu. Sore itu kamu bilang, kamu lapar dan memintaku memasakkan mie instan.

Aku memasak di dapurmu, sedangkan Mama mu sedang menyiram tanaman di halaman depan.

Sepuluh menit berlalu, dan aku kembali ke ruang tamu dengan membawa dua piring mie instan.

Kita duduk di lantai, diantara sofa dan meja. Setelah berdoa, aku mulai menikmati masakan ku.

Aku makan sambil fokus menonton televisi yang sedang menyiarkan kartun spongebob squarepants. Aku tidak memperhatikan apa yang sedang kamu lakukan, sampai tiba-tiba kamu berdiri membelakangi ku dengan sedikit membungkuk.

"Eh bentar-bentar–"

Prett Prettttt

"REI IH JOROK BANGET SIH! UDAH TAU ORANG LAGI MAKAN!"

"HAHAHAHA!"

Aku menendang pantat mu yang tepat berada di samping kepalaku. Kamu masih tertawa terbahak-bahak tanpa memperdulikan aku yang sudah kesal sekali.

"Tau ah, nggak nafsu makan lagi. Udah tercemar!"

Tanganku terlipat diatas meja, lalu mengalihkan pandangan ku ke arah pintu depan.

"Hahahahaha.."

Kamu masih tertawa sambil menegakkan duduk mu, lalu menarik ku ke dalam pelukanmu.

"Yahh jangan ngambek dong, hahahaha.. Sini-sini aku tiup indomie nya biar ilang racunnya.."

Benar saja, kamu meniup mie instan ku. Lalu meletakkan kembali di depanku,

"Aaaaa.. Udah ilang kok racunnya,"

Bukan masalah kamu yang buang angin sembarangan waktu itu, tapi yang membekas di ingatanku adalah pelukan mu hari itu.

Aku bisa merasakan sisa-sisa tawamu, detak jantungmu yang tidak beraturan karena tawamu. Kamu yang memaksaku menghabiskan sisa mie instan itu.

Sampai akhirnya mama mu masuk kedalam rumah, dan berkacak pinggang di depan kita.

"Kenapa ini ribut-ribut?"

"Si Rei tuh Tante, jorok masa. Aku lagi makan dia kentut di depan muka aku."

"Ish Rei, malu-maluin mama aja kamu ini!"

Giliran aku yang tertawa, saat mama mu menjewer telingamu dan ekspresi mu mengadu kesakitan.

Setiap hal yang kita lakukan itu masih ada di ingatanku. Masih sangat jelas, sampai aku hampir mengingat setiap percakapan kita.

Seperti saat kita bermain basket di lapangan sekolah, saat kita bersepeda mengelilingi kompleks perumahan kita, saat kita hujan-hujanan di Monas, atau saat kita duduk bersisian di perpustakaan sekolah.

Bahkan ayah pun mempercayakan diriku padamu. Ayah yang sibuk bekerja dan lebih sering di luar kota, membuat ayah lebih sering menitipkan aku pada mama mu.

Keluarga kamu baik, Rei. Mama, Papa, dan Hanata. Mereka semua selalu baik.

Di usia hubungan kita yang belum genap setahun dan aku yang masih kelas 11 SMA, rasanya sedikit berlebihan kalau aku mengatakan, kalau aku mau kamu jadi yang terakhir untuk aku Rei.

Tapi nyatanya begitu, aku mau kamu saja. Aku mau kamu yang menjadi pacar pertamaku, dan semoga menjadi yang terakhir juga ya.

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang