Jakarta, 26 Maret 2010
"Hai! Gimana ujiannya tadi?"
Aku memutar badanku menjadi tengkurap di atas kasur. Hari ini aku sedang menikmati hari libur ku, sebelum Senin depan kembali ke sekolah.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Negara mu. Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir, karena kamu sudah pintar. Kamu adalah anak IPA, rasa anak IPS. Mengertikan?
Jadi, walaupun kamu anak IPA yang katanya cenderung lebih serius. Kamu malah sama nyeleneh nya dengan anak IPS.
"Pusing, Na. Mau tidur sampe pengumuman aja nanti."
Aku tergelak.
"Ya udah, tidur sana.– Eh iya, besok jadi kan?"
"Jadi Nana.."
"Okay deh, bye! Rest well ya."
Setelah obrolan kita selesai, aku telentang. Menatap langit-langit kamarku. Tidak sabar menunggu besok. Kencan terakhir kita, sebelum kamu sibuk dengan segala tetek-bengek perkuliahan.
Kamu sendiri belum memberitahu ku akan kuliah dimana nantinya. Katamu, jadi kejutan saja nanti. Halah.
Tapi, kuharap yang terbaik yang kamu pilih. Sebelumnya kamu sudah mengikuti SNMPTN, dan sudah memasukkan beberapa pilihan.
Dulu saat hubungan kita belum genap setahun, kita pernah membicarakan mimpi kita.
Kamu ingin jadi arsitek. Agar bisa membangun sebuah bangunan, yang nantinya bisa menjadi tempat untuk orang-orang berteduh dari panas terik matahari dan hujan lebat.
Kalau aku, aku masih rancu. Bingung. Disatu sisi aku ingin masuk akuntansi, disisi lainnya ingin Sastra Indonesia. Ah ya sudahlah, aku masih punya waktu setahun lagi untuk memikirkannya ini.
***
Jakarta, 27 Maret 2010
Pagi ini, aku menghampiri ayah yang sedang duduk di ruang makan. Ayah sedang membaca koran pagi nya, sembari menyesap kopi hitamnya.
Aku duduk dihadapannya, mengambil sehelai roti tawar lalu melimurinya dengan susu kental manis rasa vanila.
"Rei datang jam berapa?"
"Kemaren sih katanya jam 11,"
"Kamu mau kemana sih memangnya?"
"Mau ke Lubang Buaya dong!"
Ujarku sambil nyengir.
"Halah, kamu sok-sokan mau ke museum. Kata guru kamu aja kalo pelajaran sejarah kamu tidur mulu."
"Ih ayah nyebar fitnah!"
Ayah tergelak. Sekarang ini, jika aku mendengar tawa ayah. Rasanya senang, hangat, dan lega.
Setahun berlalu sejak kepergian mama, ayah menjadi semakin pendiam.
Tidak aneh makanya, kalau aku juga menjadi anak yang lumayan pendiam di sekolah.
Tiga bulan setelah pemakaman mama, ayah memilih menyibukkan dirinya di kantor. Sampai akhirnya ayah tumbang juga, karena kelelahan. Panik rasanya saat malam itu aku masuk ke dalam kamar ayah, dan menemukan suhu tubuh ayah yang sangat tinggi.
Dengan panik aku memanggil Pak Retno, yang merupakan supir ayah. Menggotong ayah bertiga dengan Mbok Isah dan Pak Retno. Lalu sesampai di rumah sakit aku baru meneleponmu.
Seingatku, hari itu jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi kamu tetap datang, menemaniku menunggu dokter memeriksa kondisi ayah.
Ah, itu sudah setahun yang lalu. Dan sekarang, semua berjalan baik-baik saja.
Aku kembali ke kamar setelah sarapan tadi. Sekarang aku sedang duduk di atas kasur ku, dengan novel yang baru aku beli dua hari yang lalu di tanganku.
Jam berputar cepat, sampai akhirnya jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 10.30. Aku langsung bersiap-siap.
Tepat pukul 11 aku sudah duduk diruang tamu. Sembari menunggu kedatangan mu, aku melanjutkan membaca novel, lengkap dengan secangkir kopi hitam yang baru saja ku seduh.
Lima menit berlalu.
Lima belas menit berlalu.
Tiga puluh menit berlalu.
Dengan sedikit kesal, aku meraih ponsel ku yang ada di meja.
To: Rei
Dimana sih rei? Jadi ga?
Aku menatap ponsel ku kesal. Kalau sampai sepuluh menit lagi pesan ku tidak dibalas, aku akan berganti pakaian dengan pakaian rumah lagi!
Benar saja, sepuluh menit berlalu tapi tetap tidak di balas. Sudah ku coba menelpon, tetap tidak diangkat.
Sambil menghentakan kaki kesal, dan tidak menghiraukan tatapan bingung ayah yang baru keluar dari ruang kerjanya, aku menaiki tangga menuju kamarku.
Kamu kemana sih, Rei? Beberapa hari terakhir ini banyak yang berbeda sikapmu, lebih dingin dan sedikit tidak tersentuh.