Mimpi Buruk

1.6K 130 1
                                    

Jakarta, 01 Mei 2011

Hampir dua minggu ayah tidak sadarkan diri. Aku memeluk kedua lulutku, menatap ayah yang masih saja memejamkan matanya.

Rasa sesal terus memenuhi dadaku. Kata dokter, ayah terkena serangan stroke ringan. Akhir-akhir ini aku kurang memperhatikan ayah, dan memilih sibuk dengan dunia ku sendiri.

"Raina, makan dulu. Kamu belum makan dari pagi, sekalian keluar jalan-jalan. Biar nggak suntuk di sini mulu."

Tante Demi, adik ayah yang tinggal di Jogja datang. Satu-satunya adik ayah.

Hari itu, aku sangat panik. Mencoba menelepon mu beberapa kali, tapi tidak kamu angkat. Sesampainya dirumah sakit aku mengambil ponsel ayah, dan mencari nomor telpon kerabat kami.

Nama Tante Demi yang pertama kali aku temukan.

Ayah hanya dua bersaudara, sedangkan mama adalah anak tunggal.

Tante Demi dan keluarga serta Nenek dari pihak ayah tinggal di Jogja. Sedangkan nenek dan kakek dari pihak mama sudah almarhum.

Jadi, di Jakarta ini. Hanya tinggal aku dan ayah saja.

Aku menuruti Tante Demi, dan pamit untuk ke kantin rumah sakit.

Sepiring nasi goreng aku habiskan dalam waktu kira-kira sepuluh menit. Ah, ternyata aku selapar itu ya. Dari pagi hingga sore ini belum makan nasi.

Aku tidak pernah suka rumah sakit. Bau rumah sakit, seolah menarik ingatanku pada malam kepergian mama. Aku benci rumah sakit. Karena rumah sakit adalah tempat perpisahan paling menyedihkan.

Aku berpisah dengan mama disini, di Rumah sakit ini. Tiga tahun lalu.

Tidak betah berlama-lama di kantin, aku memilih kembali ke kamar rawat ayah.

Tante Demi berdiri didepan kamar ayah saat aku sampai disana.

"Ayah kenapa, Tante?"

Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri, rasa panik langsung menyergap ku. Saat seorang dokter keluar dari kamar rawat ayah dan berkata ingin berbicara dengan keluarga ayah.

Langkah kaki ku terburu-buru mengikuti langkah dokter dan Tante Demi, sampai ke ruangan dokter.

"Bapak Andre mengalami stroke hemoragik ...."

Segala penjelasan yang diberikan dokter tidak terdengar lagi. Telinga ku berdengung, membuat suara di sekelilingku tidak terdengar. Yang aku tahu, kalau ayah sekarang tidak akan bisa seperti ayah ku yang dulu lagi.

Ayah yang aktif, yang selalu bersemangat dengan segala hal.

Aku memilih keluar dari ruangan dokter. Menyusuri koridor sambil berpegang pada dinding rumah sakit.

PINTU DARURAT

Dengan pelan aku membuka pintu darurat itu. Menutupnya rapat, dan menjatuhkan diriku disana.

Diantara hawa pengap tangga darurat, dan suasana sunyi disana.

Tangis ku pecah. Membayangkan apa yang akan aku lakukan kedepannya. Ayah sakit, dan terpaksa pensiun dini. Aku tidak pernah mengurus siapapun, biasanya ayah yang mengurusku. Tapi setelah nanti ayah pulang kerumah, aku yang harus mengurusnya.

Aku bisa apa?

Sempat ada sedikit rasa aku menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi sekarang. Menyalahkan-Nya, mengapa Ia mengambil mama kalau akhirnya ayah akan sakit juga. Kesalahan fatal apa sih yang sudah aku perbuat, sampai-sampai Tuhan murka kepada ku? Mama sudah pergi tiga tahun lalu, sekarang ayah yang sakit. Umurku baru genap 17 tahun. Tapi rasanya banyak tanggung jawab yang harus aku tanggung.

Aku memeluk kedua lutut ku. Meredam suara tangis ku disana, berharap tidak akan ada yang mendengarnya.

Suara gemuruh hujan terdengar. Aku menutup kedua telingaku, enggan mendengar suara hujan kali ini.

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang