Jakarta, 21 April 2011
Hari terakhir Ujian Negara. Aku melangkahkan kaki ku keluar kelas, menghampiri Gina yang katanya akan menunggu ku di kantin.
"Ginaaa! Gimana gimana? Bisa?"
Aku duduk di depan Gina, lalu meraih Jus Jambu gadis itu.
"Bisa.... Bisa gila gue, susah banget anjir Na!"
"Ih santai sih, angkatan kita pasti lulus seratus persen!"
Gina memutar matanya malas, memilih memfokuskan diri pada piring batagornya.
"Rei gimana, Na?"
Aku terdiam. Ingatanku kembali pada saat aku mengirimkan mu foto Raina's Wish Coupon kedua ku.
Reinaldi: maksudnya na?
Raina: nope, just tell me when you already tired with me
Reinaldi: aku nggak ngabarin kamu bukan berarti aku udh capek sama kamu Kalana. Aku emang lagi sibuk sama tugas
Raina: iya, aku tau kok kamu sibuk
Raina: sibuk banget malah
Raina: sampe rela begadang buat ara
Setelahnya kamu membaca, tapi tidak membalas pesanku. Getaran ponsel ku menyadarkanku kalau kamu meneleponku.
"Kenapa ngomong begitu sih Na?"
Aku diam. Tidak bisa menjawab. Berbagai perasaan membuatku gelisah. Rasanya senang bisa mendengar suaramu lagi, tapi nada suaramu terdengar gusar.
"You said you were busy with your college life, tapi kenyataannya. Kamu sibuk dengan lingkungan pergaulan kamu. Sama cewek-cewek kamu disana!"
"Cewek-cewek apa– Raina ya ampun! Aku nggak mau berantem ya sama kamu cuma karena cemburu kamu yang nggak berdasar ini, aku capek Na."
"Capek abis anter jemput si Ara itu kan? Enak banget jadi si Ara itu,"
"Ara cuma adeknya teman aku, Na."
"Enak ya, kalo gitu aku mau dong jadi adiknya temen kamu. Biar di perhatiin sama kamu, biar kamu perjuangin sampai begadang cuma buat surprise. Ngapain dapet title 'pacar' kamu kalau di kasih kabar aja nggak, yang ada malah dilupain hari ulang tahunnya!"
Kamu diam di seberang sana. Sedangkan aku sudah menangis disini. Menutup mulutku dengan bantal, agar ayah tidak tahu kalau aku menangis.
"Aku capek, Rei."
Aku merajuk, mencoba membuat kamu mengerti kalau aku lelah.
"Just don't give up on me, Kalana. Istirahat sana,"
Dan hanya sampai disitu, kamu mematikan telepon secara sepihak.
Aku menegakkan kepala ku, menatap Gina.
"Nggak tau gue, Gin."
Setelah hari itu, kita berbalas pesan paling cepat dua hari sekali. Saking lelahnya, aku sudah tidak ingin lagi memulai percakapan antara kita duluan.
"If you already tired, just stop, Na. You have a long journey. Don't waste your time with stuck at one boy."
Gina mengusap tanganku sambil kami berjalan menyusuri koridor kearah gerbang sekolah.
"Non Raina!"
Aku mengernyit saat melihat supir ayah berdiri di pintu gerbang, melambaikan tangannya padaku. Aku dan Gina menghampirinya, wajah supir ayah panik. Membuat aku menerka-nerka apa yang terjadi.
"Bapak masuk rumah sakit non, bapak jatuh di kamar mandi kantor!"
"Ibu masuk rumah sakit, non."
Kepalaku berputar. Suara supir ayah dan suara Mbok Isah di telepon beberapa tahun lalu terngiang-ngiang di telingaku.
Andai saja Gina tidak menarik tangan ku, mungkin aku sudah tidak sadarkan diri sekarang.