Jakarta, 30 September 2008
Aku mengatur nafasku setelah menginjakan kaki di depan ruangan UGD. Mataku menatap sekitar, mencari sosok ayah. Tapi nihil. Ayah tidak ada disini.Dengan tergesa aku menghampiri suster yang kebetulan sedang berdiri dengan papan nama pasien di lengannya.
Aku menanyakan di ruangan mana mama di rawat, suster dengan sigap mencari nama mama. Setelah tahu dimana mama dirawat, aku kembali berjalana dengan tergesa.
Ruangan 1308
Nafasku tidak teratur saat aku sampai tepat di depan ruangan yang disebutkan suster tadi.
Dengan perlahan, aku mendorong pintu kayu di depanku. Pemandangan didepanku membuatku tertegun. Wanita nomor satu dalam hidupku, sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit. Sedang berbicara hangat dengan laki-laki yang mungkin masih menjadi nomor satu dihidupku, juga.
"Eh, Rain kok disini?"
Mama yang pertama kali menyadari kehadiranku. Rain. Hanya mama yang memanggilku seperti itu.
Aku yang lahir saat malam hari di bulan Desember, saat hujan.
Mendengar pertanyaan mama, aku hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Mataku beralih menatap ayahku.
Aku masih ingat saat terakhir kali aku menangis, saat mendengar pembicaraan ayah dan mama malam itu. Mungkin ayah dan mama tidak sadar, kalau ternyata aku mendengar pembicaraan mereka malam itu.
Kakiku melangkah pelan mendekati ranjang rawat mama. Aku hanya berdiri disamping ranjang mama, berhadapan dengan ayah yang ada di sisi kiri mama.
Keluargaku adalah keluarga bahagia, kata orang-orang yang mengenal kami. Suami dan istri yang hidup bahagia dengan anak tunggal mereka. Kami tidak pernah bertengkar lebih dari satu hari. Aku, yang merupakan anak tunggal, selalu di manja oleh ayah dan mama. Aku selalu terbuka dengan semua masalahku. Bercerita dan meminta solusi pada kedua orang tuaku ini.
Mungkin, keterbukaan dalam keluarga kami sebenarnya hanya sebuah jembatan yang dapat menghancurkannya juga.
Mungkin kertebukaan itu, yang menyebabkan kata "cerai" bisa terdengar keluar dari mulut ayah dengan mudahnya.
Ayah dan mama masih mengobrol. Membicarakan tentang banyak hal. Sesekali mereka bernostalgia mengingat masa muda mereka.
Aku memanggil keduanya pelan, keduanya menoleh. Menunggu hal yang akan aku katakan,
"Ayah sama mama, mau cerai?"
Akhirnya.
Aku bisa menanyakan hal yang sudah memenuhi isi kepalaku seharian ini. Tapi, setelahnya tidak ada yang menjawab.
Hanya denting jam dinding yang memenuhi keheningan kami.
"Rain.."
Dan anggukkan ayah.
Bunda meraih tanganku, menggenggamnya lembut. Raut wajahnya terlihat sedih. Rasanya udara di sekelilingku menipis, anggukkan ayah adalah hal yang paling aku tidak ingin lihat. Tapi nyatanya, hal itu ada didepanku. Nyata.
"T–tapi kenapa?"
Suaraku menciut. Sangat kecil.
"Ayah sama bunda nggak sayang lagi sama Rain?"
Bunda menggeleng, dengan air mata yang menetes di pipinya.
"Bukan gitu sayang, ada hal yang belum waktunya kamu ngerti."
"Hal apa?– Oh, hal tentang ayah yang selingkuh?"
Mama menutup mulutnya, terkejut mendengar perkataanku.
"Raina jaga bicara kamu! Kamu nggak ngerti apa-apa!"
Mama membentakku. Membuat aku langsung merapatkan bibirku. Aku menatap ayah di depanku, ayah membisikkan sesuatu pada mama yang tak bisa kudengar.
Mataku memanas.
Satu tetes.
Dua tetes.
Tiga tetes.
...
Air mata mengalir dipipiku. Bentakan mama masih berdengung di telingaku, tatapan marah mama masih terbayang di mataku.
"Raina, tolong dengarkan ayah dulu–"
Aku tidak memperdulikan perkataan ayah. Kakiku langsung mengambil langkah keluar dari ruang rawat mama. Tanganku menyeka air mata, yang sialnya tidak mau berhenti.