Basket dan Telepon dari Rumah

3.2K 195 0
                                    

Jakarta, 30 September 2008


Setelah pulang sekolah tadi, aku langsung berganti pakaian dengan kaos oblong hitam dan celana basket andalanku.

Sore ini aku sudah berkumpul dengan beberapa temanku yang ikut dalam kegiatan ekstrakurikuler basket.

"Welcome guys! Calon-calon anggota klub basket SMA Harapan Jaya, mana suaranyaa??"

Aku menyipitkan mataku melihat seorang cowok yang berdiri diatas kursi. Ah, aku ingat! Dia adalah orang yang mencolekku saat hari dimana kamu mengembalikan buku tulisku.

"Klub basket ini ada sejak pertama kali sekolah ini berdiri, jadi bisa pada nebak kan udah berapa lama klub basket ini berprestasi?

Nah, disini gue mau kasih pengumuman aja. Sorry to say, tapi kita akan melakukan seleksi untuk anggota baru kita."

Suara temanmu itu terdengar sangat kencang, walaupun ia tidak menggunakan pengeras suara. Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok kamu.

Setelah obrolan kita pagi itu di perpustakaan, kita sesekali bertemu di koridor kelas maupun di kantin.

"Seleksi akan di laksanakan dua minggu lagi. Jadi gue mohon untuk keseriusan kalian, ya. Kalau kalian memang nggak terlalu niat sama basket, mungkin kalian bisa mundur dari sekarang.

Jangan sampe nanti kalau salah satu dari kalian lolos, gue nggak mau ada yang tiba-tiba out. Ngerti semua?"

Aku mengulum senyumku saat melihat sosokmu yang berlari dari arah ruang ganti. Dengan headban yang diikat diatas kepalamu.

Aku menunduk, menatap ujung sepatu basket ku yang sudah kusam. Terlalu sering kupakai.

***

Setelah hampir dua jam, pelatihan para calon anggota klub basket SMA Harapan Jaya selesai juga.

Kata pelatihnya, sebentar lagi akan ada turnamen yang akan berlangsung. Oleh karena itu, pemilihan anggota ekstrakurikuler basket kali ini sangat dipercepat. Karena yang terpilih akan langsung mengikuti turnamen, menggantikan pemain inti yang sudah kelas XII. Yang artinya harus fokus ke Ujian Negara.

Aku menjatuhkan diri di kursi tribun penonton. Sambil merogoh tas mencari botol air mineralku, aku menyalakan ponsel yang sedari tadi aku matikan.

Puluhan panggilan tidak terjawab dari nomor telepon rumah muncul dilayar. Dan detik berikutnya, ponselku kembali bergetar.

"Non Raina, Ya Tuhan! Akhirnya non angkat juga telpon mbok!"

Belum sempat aku mengucapkan salam, Mbok Isah langsung histeris. Aku menjawab dan berusaha menenangkan Mbok Isah yang dari suaranya terdengar sedang menangis.

"Ibu non, Ibu..."

Mama. Dan perkataan Mbok Isah setelahnya membuat jantungku rasa jatuh ke tanah.

"Ibu masuk rumah sakit, non."

Benar saja. Jatungku benar-benar jatuh ke tanah.

Setelah mengetahui rumah sakit dimana mama di rawat, aku langsung membereskan tasku. Dengan suara gaduh langkah kakiku yang bergema di dalam lapangan indoor, aku meninggalkan lapangan tanpa berpamitan.

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang