Jakarta, 17 Desember 2010
Suara gaduh langkah kaki para siswa-siswi memenuhi koridor sekolah. Besok adalah hari pembagian laporan hasil belajar selama satu semester kemarin. Setelah nya libur panjang tiba.
Tapi, kenyataan kalau Senin depan sudah libur, aku tetap merasa bete.
Dua hari yang lalu adalah ulang tahun ke- tujuh belas ku. My sweet seventeen. Tidak dirayakan dengan meriah. Hanya mengundang beberapa teman ku, karena memang aku tidak memiliki banyak teman.
Hanya merayakan dengan makan malam sederhana, dengan mengundang saudara-saudara ku.
Tapi, bukan acara ulang tahun ku yang membuatku tidak berniat melakukan apa-apa hari ini.
Aku duduk di kantin. Di temani segelas jus jambu, dan sepiring batagor. Gina masih di kelas, katanya nanti akan menyusul ku.
Drttt
Ponselku bergetar– Lebih tepat nya, bergetar lagi. Masih dengan nama yang sama tertera disana.
Rei
Dan aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk mengangkat telponmu itu. Biar saja. Biar kamu tahu rasa. Siapa suruh melupakan ulang tahunku yang juga bertepatan dengan hari jadi kita yang kedua tahun.
Ting
Rei: na udh dong ngambeknya
Aku membuka pesanmu, tanpa mau membalas.
Drtt
Telpon lagi. Aku menekan tombol yang berwarna hijau. Mengaktifkan speaker, dan membiarkan kamu berbicara di seberang sana.
"Nana...
Jangan marah lagi...
Beneran lupa, banyak tugas banget. Nggak sempet pegang hp sama sekali."
Gina menghampiriku, keningnya berkerut bingung mendengar suaramu.
"Gin cowok yang kemarin."
"Hah yang mana? Kenapa?"
"Yang itu loh, yang kemarin dateng ke ulang tahun gue barengan sama lo."
Gadis itu membulatkan matanya, matanya memelototi ku.
Bercanda
Aku menggerakkan bibirku, mengucapkan kata 'bercanda' tanpa suara. Gina mendengus kesal. Tentu saja kesal. Nathan kan gebetannya.
"Oh Nathan? Kenapa? Mau gue kenalin?"
"Boleh tuh, ganteng."
"Eh eh! Woi Raina!"
"Terus si Rei gimana, sial?"
"Hah? Siapa? Rei? Biarin aja, nggak ada kabar dia. Nggak ngucapin ulang tahun ke gue lagi."
"Ah Raina jangan begitu dong! Aku kan beneran lupaaa.."
Aku menahan suara tawaku mendengar kamu merajuk. Rasa kesalku menguap begitu saja mendengar suaramu.
Kamu itu kelemahan ku, Rei. Aku tidak pernah bisa bertahan lama marah denganmu. Seperti saat kamu lupa tanggal-tanggal penting kita, saat kamu lupa memberi kabar. Aku akan berakhir dengan memaafkan kamu, hanya dengan mendengar suaramu.
Aku selemah itu, Rei.
"Bagi nomornya Nathan sini."
"Kosong, delapan, tiga belas, lima, enam, sebelas, dua belas, empat, tiga!"
Tawaku dan Gina pecah mendengar suara panik mu menyebutkan angka-angka nomor teleponmu.
Aku mematikan mode speaker lalu menempelkan ponselku ke telinga.
"Raina beneran deh, maaf banget. Iya tau aku salah, iya tau udah nggak nepatin janji. Maaf nggak jadi ke Jakarta. Maaf lupa ucapin kamu."
"Rei, listen to me. Aku bukan marah karena kamu nggak jadi ke Jakarta. Nggak marah, sama sekali. Cuman ya, kasih kabar atuh."
Kamu menghela nafas.
"Iya, maaf."
"Udah ih, nggak usah maaf-maaf lagi. Dikira lagi lebaran kali."
"Iya iya, maaf–"
"Rei, udahan ah minta maafnya. Kamu minta maaf lagi, aku matiin telponnya. Lagian aku udah maafin kamu. Setelah kamu kirimin buku sajak kemarin. Hihihi.."
Aku cekikikan.
"Oh iya, Raina's Wish Coupon gimana maksudnya?"
Aku teringat akan tiga lembar kertas berwarna pink yang aku temukan di tumpukan buku sajak yang kamu kirimkan.
"Kamu boleh minta apa aja sama aku, tiga aja tapi. Dan aku akan kabulkan. Asal nggak melanggar hukum ya, Na."
"Kalo aku minta kamu anterin ke Hogwarts gimana?"
"Yang masuk akal Raina.."
"Hehehe.. Iya iya, nanti aku pake pas urgent aja yaa.."
"Terserah kamu aja, Kalana."
"Makasih ya, aku suka. Banget."
"Iya sama-sama, Nana. Maaf ya–"
"BYE!"