Jakarta, 30 Agustus 2008
Bel tanda istirahat pertama baru saja berbunyi. Aku berpamitan kepada teman-temanku untuk pergi ke perpustakaan. Aku tidak ada niat untuk makan pagi ini.
Aku mengucek mataku, rasanya sedikit perih. Kata temanku, mataku agak merah dan sembab. Mereka menanyakan aku kenapa, setelah mengatakan bahwa aku tidak apa-apa, mereka mengerti. Mereka paham, aku belum siap menceritakannya.
Aku masuk kedalam perpustakaan yang masih sangat sepi. Tentu saja, murid-murid yang lain pasti lebih memilih untuk makan di kantin.
Aroma buku langsung menyambutku. Aku menyusuri rak-rak tinggi mencari rak yang berisi kumpulan novel.
Setelah mendapatkan buku yang aku inginkan, aku menghampiri meja dan kursi yang disediakan untuk membaca.
Dan aku menemukan sosokmu di meja paling kanan. Dengan perlahan aku menggeser kursi yang ada di paling kiri. Perlahan, tanpa ingin mengganggu tidurmu.
Setelahnya keheningan menemaniku. Biasanya aku suka keheningan. Tenang, damai, dan nyaman. Tapi, untuk kali ini aku tidak suka keheningan. Keheningan mencekam, membuatku tidak nyaman, dan mengingatku kejadian tadi malam.
Papa yang selalu aku banggakan. Ayah yang menjadi contoh lelaki sempurna untukku. Papa yang aku yakini tidak akan menyakiti aku dan mama. Papa yang selalu menceritakan kisah putri dan pangeran kerajaan, sosok yang membuatku percaya bahwa semua laki-laki itu baik.
Ternyata menjadi orang nomor satu yang menghancurkan angan-angan ku tentang sosok pangeran dari negri dongeng.
Aku menarik nafas panjang. Tiba-tiba rasanya udara disekitarku menipis. Aku menunduk, menatap sampul novel yang belum aku buka sama sekali.
Aku mengerutkan keningku saat melihat setitik air diatas sampul plastik, dan tiba-tiba mataku memanas. Rasanya ada bendungan air yang tertampung di pelupuk mataku.
Tangisku pecah pagi ini, di ruang perpustakaan yang sepi, yang hanya ada aku dan kamu.
Sampai aku harus menutup mulutku, menahan agar suara tangisku tidak keluar.
Setelah rasanya cukup mengeluarkan sesakku, aku mengusap mataku dengan dasi lalu menegakkan wajahku.
Aku hampir terlonjak kaget saat menemukan kamu disebelahku, duduk dengan posisi kepala diletakkan diatas meja dan menghadapku. Menatapku dengan senyum jahil yang baru pertama kali ku lihat.
"Laina ya?"
Aku memutar mataku malas mendengar pertanyaanmu. Tidak berniat menjawab, aku membuka halaman pertama novel yang tadi kuambil.
"Laina kenapa nangis?"
Sejak hari ini, aku jadi mengetahui kalau kamu itu termasuk orang yang ingin tahu. Kepo.
Aku diam.
Tidak terbiasa berbicara dengan orang asing, walaupun sebenarnya kamu sudah tidak terlalu asing bagiku. Setidaknya aku sudah mengetahui namamu dan kelasmu.
"Lo mau tau nggak? Katanya di perpus ada penunggunya. Dan penunggunya itu nggak suka kalau ada yang berisik!"
Kamu berbicara terus, walaupun aku sudah tidak menanggapinya. Aku hanya melirikmu sebentar, yang entah kenapa membuat kamu jadi tertawa.
"Sutt! Siapa itu yang tertawa?"
Kamu langsung menutup mulutmu saat mendengar suara langkah kaki dari penjaga perpustakaan. Sedangkan aku hanya bisa menepuk keningku, sebentar lagi pasti di usir dari perpustakaan.
"Itu penunggu nya!"
Bisik kamu, dengan ekspresi wajah yang hampir membuatku ingin tertawa.
"Itu penjaga perpus, bukan penunggu!"
Itu suara pertama yang aku keluarkan untukmu pagi ini. Kamu yang sebelumnya sedang melihat situasi perpustakaan sambil menoleh ke segala arah, tiba-tiba menatapku dengan sinar mata takjub yang sama sekali tidak aku mengerti.
"Perpus, bukan pelpus."
"Ish!"
Dan kamu kembali tertawa. Membuat aku dengan kesal meninggalkan perpustakaan, karena takut diusir.