Jakarta, 14 Januari 2010
Tiga hari yang lalu ayah pergi tugas ke Pontianak. Aku sendirian dirumah, untuk kesekian kalinya. Kalau biasanya aku akan tenang ayah pergi ke luar kota, sekarang tidak.
Aku takut sendirian, tapi aku tidak suka keramaian. Dulu, kalau mama mengajakku ke pasar, aku akan berakhir duduk di warung nasi uduk dan mama berkeliling berbelanja sayur.
Aku memang selemah itu, karena itu Gina sering meledek ku,
"Yah, nggak bisa di ajak dugem dong lo."
Gina memang se-lemes itu mulutnya. Tapi aku setuju, aku tidak pernah suka dengan musik EDM. Maka nya isi playlist ponselku tidak jauh dari lagu mellow.
Dan jujur saja, aku ini anak cengeng. Kalau di marahi oleh mama dan ayah lebih sering menangis dari pada berdebat. Di bentak sedikit oleh ayah, aku menangis.
Aku memang selemah itu.
Tapi, semenjak aku melihat mama yang bolak-balik rumah sakit, aku belajar mengontrol emosiku. Tidak mau menangis di depan mama.
Dan hari ini aku menangis. Bukan karena ayah, apalagi mama. Tapi karena kamu.
Kita bertengkar hari ini. Entahlah, aku juga tidak tahu kita bertengkar atau tidak. Karena kita tidak berdebat. Tapi kamu diam sejak kita berpisah, pulang sekolah tadi.
Tidak ada obrolan, tidak ada cerita-cerita aneh tentang teman-temanmu.
Malam harinya kamu tidak mengirim pesan apapun, akhirnya aku mengalah untuk menelpon mu.
Aku tidak suka di diamkan.
Sekali, dua kali tidak diangkat.
Dan telpon ketiga kali ku diangkat pada dering ke-lima.
"Hm?"
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Ih serius, dari tadi kenapa?"
Bisa kudengar helaan nafas mu diseberang sana, sedangkan aku sudah hampir menangis lagi mendengar nada suara datarmu.
Kalau sudah begini, pasti tidak ada yang beres.
"Emang kalo ada apa-apa nggak bisa minta tolong aku aja ya, Na?"
"Hah?"
Aku memutar ingatanku, mengingat-ngingat tiap kejadian.
Minta tolong ap– Oh! Ah masa karena itu sih?
Batinku berdialog, aku tidak yakin. Masa iya karena itu?
Iya, jadi tadi saat pulang sekolah aku meminta tolong temanku mengantarku ke suatu sekolah untuk mengantar proposal untuk Cup.
"Ini nggak sekali dua kali, Raina."
"Ya masa aku harus minta tolong kamu, kamu kan mau PM."
Akhirnya aku menyuarakan isi pikiranku. Tadikan aku pikir kamu kan mau pendalaman materi, persiapan untuk ujian negara.
"Kan aku masih istirahat PM, kalo ke Sekolah Harapan Jaya sih masih sempet."
"Rei udahlah, masa gara-gara itu aja jadi ngambek. Kayak aku selingkuh aja sama si Nathan."
Kamu diam diseberang sana. Maksudku, ini hanya masalah sepele dan kamu mendiamkanku.
"Ya kan kita nggak tau nanti nya gimana,"
"Ah tau ah, terserah kamu aja deh ya mau mikir gimana."
Aku jadi sedikit tersulut emosi mendengar perkataanmu. Bagaimana bisa kamu bilang begitu,
"Aku matiin ya, percuma telpon kamu juga. Ngomongnya ngawur–"
"Aku tuh takut, Na."
Perkataan ku terhenti mendengar nada suaramu, lelah dan lemah.
"Takut apa?"
Ku berani kan diri untuk bertanya.
"Nggak tau sih, takut aja tapi."
Kamu takut apa sih, Rei?