Rencana Pergi

1.5K 132 0
                                    

Jakarta, 20 Juli 2010

Aku meletakkan bantal diatas pangkuan ku, mataku mengikuti tiap pergerakan yang kamu lakukan.

Mengambil pakaian di lemari, lalu meletakkannya di dalam koper.

Lima hari sebelum kepindahan mu ke Bandung. Kamu terlihat sangat bersemangat, dan kedua orangtua mu terlihat santai.

Atau hanya aku saja yang berlebihan?

Beberapa hari terakhir ini, rasa gelisah dan tidak siap menyerangku. Hampir dua tahun terakhir hubungan kita, hampir setiap hari kita bertemu. Dan setelah ini bagaimana?

Bandung dan Jakarta memang tidak terlalu jauh. Tapi butuh waktu yang cukup lama untuk menuju Bandung. Dan kenyataannya, aku tidak siap untuk berjauhan denganmu.

"Obat-obatan udah dibawa?"

Kamu menoleh mendengar pertanyaanku, kegiatanmu berhenti dan kamu memilih duduk disebelah ku.

"Masih lima hari lagi kok, chill Na."

Aku mengalihkan tatapan ku, enggan menatap tepat di matamu.

Kamu belum pergi aja aku udah kesepian, Rei. Biasanya kamu yang nemenin aku dirumah kalo papa tugas keluar kota. Sekarang aku sama siapa?

Kalau saja bisa, dan kalau saja mudah untuk mengatakannya, mungkin sudah dari kemarin-kemarin aku bicara.

Tapi aku tidak mau, kalau aku bicara mungkin aku terdengar sangat egois. Walau sebenarnya aku memang egois dengan segala hal milikku.

"I'm fine, emang aku kenapa?"

Kamu memutar matamu, tanda kamu tidak percaya dengan perkataanku.

"Yang kemarin-kemarin uring-uringan, yang jadi sensi mulu siapa?"

Ah, senyum ini. Ini yang akan aku rindukan. Senyum jahilmu.

"Nggak adaaa.."

Dan senyum ini juga, senyum yang kamu berikan saat aku sudah mulai gelisah dan tidak tenang.

"Siapa aja sih yang ke Bandung?"

"Banyak,"

"Sebanyak apa?"

Kamu berpikir sebentar,

"Reza, Evan, Gavin, Nadia, Reva, Ika, Marco, Ivan, banyak deh pokoknya."

Kamu menyerah menyebutkan nama-nama temanmu.

"Yang cewek segitu? Pada nge-kost nya deketan dong?"

"Hm.."

"Ceweknya siapa lagi ih?"

"Ah nanti kalo disebut berantem lagi kita."

Aku diam. Mengingat-ngingat nama orang yang pernah membuat kita bertengkar.

"Nada, juga?"

Giliran kamu yang terdiam. Tak lama setelahnya kamu mengangguk.

Dan rasa tidak tenang semakin menyelimuti ku.

Nadana Larasati. Teman SMP-mu. Teman sebangku mu selama tiga tahun. Kalau hanya sekedar teman, mungkin aku akan biasa saja. Seperti Kak Nadia, ataupun Kak Reva.

Tapi kalian berdua beda, Rei.

Kamu pernah suka sama dia, atau bisa di bilang kamu sayang sama dia. Dua tahun lebih kalian dekat, tanpa hubungan yang jelas.

Sangat dekat, tapi tidak ada kejelasan.

Awalnya aku juga berpikir kalau aku hanya 'pelarian'-mu. Aku mengetahui hal itu setelah tiga bulan hubungan kita. Dan kamu meyakinkan ku, kalau kamu nggak pernah bermaksud seperti itu.

Setelah naik ke kelas 9, kamu sudah berhenti saat tau kalau dia baru saja jadian dengan kakak kelas kalian waktu itu.

Mungkin yang lain berpikir, 'Ah cinta-cintaan anak SMP, lebay banget' atau mungkin 'Masih cinta monyet, belom selesai Akhil baligh'

Tapi tetap saja, aku tidak ikhlas kalau kamu berdekatan dengannya.

Aku menegakkan posisi duduk ku. Kamu sudah merebahkan badan diatas kasur, dengan kaki menggantung di sisi ranjang.

"Tuh kan, langsung ngambek."

Kamu bergumam pelan, tapi masih bisa kudengar.

"S–siapa yang ngambek?"

Balasku, dengan suara yang terdengar tidak yakin. Kamu bangun, kembali duduk di sampingku.

"Rain, tenang aja. Bandung–Jakarta bolak-balik tiap hari juga aku lakuin, biar bisa ketemu kamu."

Aku memutar bola mata ku malas mendengar perkataan sok romantis mu.

"Halah! Sok-sokan! Bolak-balik Pondok Indah–Grogol aja udah ngeluh pegel."

Kamu tertawa. Ah, ini juga! Tawa ini yang pasti aku rindukan. Tawa yang tiap hari nya aku dengar secara langsung, mungkin hanya bisa terdengar di sambungan telepon.

Dan juga tidak setiap hari bisa ku dengar.

CURSORY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang