Jakarta, 06 Februari 2011
"Gue males pulang, Yel."
"Ya masa lo nggak kasian sama mama lo, dia sendirian dirumah."
"Tapi gue belom bisa bersikap biasa aja di depan mama."
"Lo bisa, Nata. Pulang yuk sama gue."
Aku menatap Hana dan Daniel bergantian. Siang tadi, setelah latihan dengan Band nya Daniel ke rumahku. Katanya mau menjemput Hana.
Nama panggilan berbeda itu hanya Daniel yang menggunakannya. Kalau biasanya semua orang memanggilnya 'Hana', tidak dengan Daniel. Kalau kata kamu, itu panggilan sayang dari Daniel untuk Hana.
Dua anak laki-laki dan perempuan ini bertemu saat keluarga kamu pindah ke rumah baru. Saat itu kamu sudah kelas 6 SD, sedangkan Hana kelas 2 SD.
Daniel adalah kakak kelas Hana, yang juga adik kelasmu. Daniel berbeda dua tahun dari Hana.
Laki-laki yang belum genap 17 tahun itu berdiri tegak di depan Hana, dengan tas gitar yang disampirkan di bahu kanan nya.
Hana menatapku, entah meminta pendapat atau pertolongan untuk menolak Daniel.
"Kalo menurut aku, Daniel juga bener sih. Kasihan mama kamu sendirian dirumah. Dia pasti butuh teman."
Mata gadis itu berair. Terlalu banyak kesamaan antara aku dan Hana. Kamu adalah orang pertama yang mengatakan hal itu. Sama pendiamnya dan sama cengengnya. Dan sama-sama belum pernah berpacaran.
"Kalau tiba-tiba papa pulang gimana kak? Aku nggak mau ketemu papa dulu."
Aku menarik bahu Hana, membawanya kedalam dekapan ku.
Daniel menatap bingung. Tidak tahu apa yang sudah terjadi.
"Harus bisa, Hana. Kamu bukan anak pengecut yang kabur dari masalah, kan? Kalau belum siap diomongin ya nggak usah, tapi jangan berubah sikap kamu.
Sejahat apapun, separah apapun kesalahan yang orang tua kita buat. Mereka tetap orang tua kita, kita nggak boleh benci sama mereka."
Hana mengangguk, lalu menguraikan pelukan kami.
Daniel masih terlihat bingung, tapi memilih tidak bertanya dulu.
"Thanks ya Na, sorry nih si Nata ngerepotin."
"Nggak ngerepotin kok, gue malah seneng jadi punya teman."
Daniel meraih tas baju serta berbagai perlengkapan yang Hana bawa saat akan menginap di rumahku.
"Aku pulang ya kak, maaf seminggu ini udah ngerepotin Kak Raina sama Papanya."
"Kalau mau main, main aja ya Han kesini. Pintu nya selalu kebuka buat kamu."
Ujarku sambil cengengesan.
Setelahnya mereka pamit. Hana melambaikan tangan nya kearah ku, sebelum motor Daniel keluar dari halaman rumahku.
Aku masuk kembali ke dalam rumah. Ayah sedang pergi bersama teman-temannya. Lebih baik seperti itu, daripada ayah mengurung diri dirumah dan terus kepikiran tentang mama.
Raina: hana udh pulang sama daniel, rei
Chat terakhir yang ku kirim kemarin siang belum dibalas. Bahkan di baca saja belum.
Aku menjatuhkan diri diatas sofa ruang tamu, menyalakan televisi dan menekan remot mengganti-ganti saluran televisi.
Ponselku bergetar di atas meja.
Rei: okay
Rei: makasih ya na
Rei: maaf kalo hana ngerepotin kamu
Raina: kamu sama daniel sama aja
Raina: minta maaf mulu kayak lagi lebaran
Raina: hahahaha
Raina: kamu lagi apa?
Rei: lagi nugas di kost-an nih
Rei: kamu?
Aku terkikik melihat chat kita kali ini. Dulu kita tidak begini, kan Rei? Dulu tidak ada basa-basi seperti ini.
Raina: lagi jalan sama cowok lain
Raina: hehehehehe
Rei: Kalana..
Raina: hehehe bercanda sih rei, kaku banget
Raina: kayak kanebo kering
Raina: lagi kangen kamu nih
Raina: gimana dong
Rei: 😢
Rei: see you asap na :( xo
Raina: berani ya sekarang
Raina: aku aduin ayah
Raina: kamu udh berani cium sama peluk
Rei: 😢😢😢😢