Jakarta, 02 Februari 2009
Hari Senin diawal bulan Februari. Satu bulan telah berlalu, semenjak aku mengantar mama ke peristirahatan abadi.
Aku melangkahkan kakiku di lorong sekolah. Kamu berjalan disisiku, mengajakku pergi ke kantin.
"Makan apa?"
Tanyamu sesampainya kita di kantin.
"Apa aja–"
"Jangan apa aja, Na. Nggak ada menu apa aja."
"Nasi goreng deh."
Kamu berlalu. Berjalan di tengah kantin yang ramai. Aku menatap punggungmu yang sedang memesan makanan ku.
Aku masih ingat, sosok yang pertama kali aku temukan saat tersadar dari pingsanku malam itu adalah kamu.
Katamu ayah sedang mengurus segala sesuatu nya.
Malam itu, pertama kalinya aku menangis di depanmu. Kamu mendengarkan setiap hal yang aku bicarakan. Mengusap punggungku, dan memelukku malam itu. Memberiku semangat untuk lebih ikhlas melepas mama.
Dan saat prosesi pemakaman mama, kamu juga tetap di sampingku. Sedangkan tanganku tetap mengait di lengan ayah.
Hari itu, saat aku dan ayah menyaksikan sendiri peti mama masuk kedalam tanah. Aku tahu, hari itu adalah hari dimana aku berada di titik terendah.
Kilasan balik tentang masa kecilku. Bayangan akan bagaimana nanti aku menjalani hidupku kedepannya, tanpa sosok mama.
Tapi aku sadar, ayah sama kehilangannya denganku. Atau mungkin lebih buruk. Dua puluh tahun bersama, dan melewati segalanya bersama. Sekarang ayah hanya memiliki aku.
Hari itu, aku menemukan sosok ayah yang sangat lemah untuk kedua kalinya. Pertama kali saat nenek meninggal, dan yang kedua saat dirinya kehilangan mama.
Setelah prosesi pemakaman selesai. Ibumu menghampiriku, bersama dengan adikmu.
"Raina, yang tabah sayang. Ikhlas ya, nak. Kamu harus kuat, agar bisa menguatkan ayahmu juga, ya."
Hari itu aku hanya bisa mengangguk. Membalas pelukkan ibumu. Lalu terpikir, mama tidak akan memelukku lagi. Tidak akan ada yang bisa ku peluk saat sedih.
Usapan lembut di punggungku, membuat air mataku menetes lebih banyak lagi.
Ibu kamu baik, Rei. Padahal baru dua kali bertemu. Saat sebelum aku menjadi pacarmu, dan sedihnya pertemuan kedua nya di pemakaman.
Sejak hari itu, ayah lebih sering lembur di kantor. Pulang saat aku sudah tertidur, dan berangkat sebelum aku bangun. Aku lebih banyak sendirian di rumah, bersama Mbok Isah yang akhir-akhir ini lebih sering menemaniku.
"Nih, abisin."
Suaramu menarikku dari lamunanku. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Tapi kamu malah menatap ku bingung. Kamu mengambil tisu dan mengusap mata ku.
"Jangan sedih lagi, Na. Ikhlas. biar mama tenang disana."
Aku hanya mengangguk, sambil tersenyum. Berusaha menunjukkan padamu kalau aku sudah mengikhlaskan kepergian mama.
Berusaha untuk menunjukan kalau aku baik-baik saja.
Kita makan dalam diam. Sebenarnya aku yang lebih banyak diam, dan kamu bercerita terus. Tentang semua hal yang bisa kamu cerita kan.
Piring dihadapanmu sudah kosong, tapi piring ku masih ada sisa lauk yang belum habis.
"Nggak boleh ada sisa,"
"Kenyang.."
Kamu menghela nafas. Mungkin kamu sudah lelah dengan sikapku. Kamu meletakkan tanganmu diatas meja, tangan kananmu terulur mengusap bagian atas kepalaku.
"Raina, aku tau kamu sedih. Aku tau kamu kehilangan mama kamu. Tapi jangan buat diri kamu sakit,
Yang udah berlalu biar jadi kenangan, jangan jadikan yang udah berlalu menjadi penghambat kita melihat yang didepan.
Mama kamu pasti nggak suka liat anaknya sedih terus. Mama mau anak dan suaminya bahagia.
Kamu jangan sedih. Percaya aja, ini adalah alur cerita hidup kamu yang sudah di tulis Tuhan. Mungkin, jalan cerita mama sudah berakhir sejak sebulan yang lalu.
Sekarang giliran kamu, melanjutkan cerita kamu sendiri.
I don't want to give you bullshit, but trust me. Aku akan selalu di samping kamu, untuk jadi tempat kamu pulang."
Hari ini aku percaya dengan semua kata-kata yang kamu ucapkan. Yang kamu ucapkan dengan senyum favoritku.
Semua berjalan dengan baik sampai satu tahun.
Tapi pada akhirnya, aku menyesali kepercayaan yang aku berikan kepadamu. Di tahun terakhir masa SMA-mu, semua berubah.
Aku, kamu, dan keadaan.
Arti hujan bagi ku, juga berubah.