"Setelah gue itung-itung, totalnya sekitar empat milyar," ujar Gifar akhirnya mengangkat kepalanya setelah satu jam berkutat dengan laptop dan kertas-kertas yang ada di hadapannya. "Beruntung lo cuma taken sampe dua bulan ke depan. Kalo ritme kerja kita kayak tahun lalu, udah abis semua aset lo buat bayar penalty cost," lanjut Gifar mengingat dua tahun ke belakang di mana Emil banyak mengambil job sehingga ia harus menyusun jadwal hingga setahun.
Barulah saat Emil serius ingin menikahi Ara, ia membatasi pekerjaannya. Lebih banyak memilah dan memilih pekerjaan yang sekiranya longgar sehingga ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama Ara. Apalagi ketika mengetahui Ara hamil, Emil meminta Gifar untuk mengosongkan jadwal, dalam artian tidak menerima banyak job dan menolak jadwal off air ke tempat yang jauh. Hanya Jakarta dan sekitarnya, paling jauh hanya Banten dan Bandung.
Emil mendesah berat. Ia tahu, ada yang harus dikorbankan dari keputusan yang telah ia buat. "Lo urus deh urusan semua pembatalan kontrak. Secepatnya," pinta Emil pada Gifar.
"Lo yakin? Mau ngelepas semuanya?" tanya Gifar yang sebenarnya sudah ketiga kalinya semanjak ia diberi tahu oleh Emil bahwa Emil akan mengundurkan diri dari dunia hiburan.
Hari ini Emil meminta Gifar untuk datang ke rumahnya dengan membawa berkas-berkas kontra kerjanya. Mereka berdua bicara serius di ruang baca, sementara Ara sedang bersama keluarganya. Ayah dan ibunya semalam sudah kembali dari Singapura.
"Gue yakin. Ini akan jadi pilihan yang terbaik untuk gue, Ara, anak kami, dan keluarga besar yang lain," sahut Emil tanpa ragu.
Salah satu yang Gifar kagumi adalah keberanian Emil ketika mengambil keputusan. Emil tidak pernah ragu saat memutuskan sesuatu, terutama yang berhubungan dengan Ara.
Gifar hanya menganggukkan kepalanya sekilas, tahu bahwa sekeras apapun ia mencoba membujuk, sepupunya itu tidak akan goyah. "Setelah ini lo bakal ngapain? Maksud gue, tanpa kerjaan?"
"Sementara gue pake uang tabungan yang ada buat biaya hidup kami. Tambahannya dari investasi saham, gue juga bakalan cari kerja. Entah kerja untuk orang lain, atau bikin lapangan pekerjaan sendiri. Apa aja, yang penting halal dan semua kebutuhan mereka terpenuhi."
"Terus gue?" Gifar menunjuk dirinya sendiri. "Gimana?"
Emil balik bertanya pada Gifar melalui tatapan bingungnya. "Balik sana ke kantor Om Har," jawab Emil menyebut nama ayah Gifar, sekaligus pamannya. "Gue rasa bokap lo bakal jadi orang yang paling seneng karena lo jadi pengangguran. Dia pasti bakal giat ngajak lo kerja di kantor."
"Ogah. Mending gue ikut kalian ke Jepang." Gifar berujar santai.
Emil tertawa ringan mendengar penuturan Gifar yang selalu menolak untuk bekerja di kantor ayahnya sendiri, Harimurti. Padahal, Harimurti adalah pengusaha kaya raya yang hanya memilki Gifar sebagai penerus satu-satunya. Entah Gifar yang tidak suka kerja kantoran, atau dia yang memang lebih suka hidup fleksibel, sehingga sampai sekarang selalu menolak saat diminta untuk bekerja di kantor. Seperti halnya Andhika Hadijaya, Dimas Harimurti memberi kebebasan untuk anak bandelnya itu menentukan jalan hidupnya sendiri.
"Oh iya, besok pagi kita konferensi pers. Gue mau umumim mundur dari entertainment," ujar Emil mengingatkan Gifar. Satu hari yang berat lagi bagi Emil.
"Bisa diatur," sahut Gifar dengan gaya santainya yang biasa. "Eh Mil, gimana kalo kita dapetin uang terakhir kita sebelum lo bener-bener selesai?"
Emil hanya membalasnya dengan tatapan heran dengan alis terangkat sebelah.
"Nggak usah konferensi pers. Kita klarifikasi eksklusif aja. Lumayan buat bayar pengacara. Lo jadi kan bikin laporan buat semua penebar fitnah itu?"
Emil mengangguk, lebih tidak peduli tepatnya. Bagaimanapun caranya, toh sama saja bagi Emil. "Atur aja deh, Far. Gue percayain urusan ini sama lo."
Gifar mengangguk sambil tersenyum girang. Saatnya menghubungi Produser Rempong.
---
Emil memerhatikan punggung istrinya yang sedang serius menunduk. Di tangannya, Ara menggenggam pulpen untuk menuliskan sesuatu.
Emil menghampirinya. Berdiri di samping istrinya. "Lagi nulis apa, Cantik?" tanya Emil, tangannya mengelus rambut Ara yang selalu halus itu.
"Daftar barang-barang yang harus dibawa ke Jepang. Biar nggak ada yang ketinggalan," jawab Ara pelan, tanpa menoleh ke arah suaminya. Emil tahu, Ara pasti menangis diam-diam, lagi. Sejak semalam ia menyampaikan keputusannya, Ara hanya mengangguk dan mengiyakan sambil memeluk Emil erat-erat. Ara menahan tangisnya karena berat harus berpisah dengan suaminya.
Emil berjongkok dan memutar kursi belajar yang diduduki Ara agar berhadapan dengannya. Ditatapnya wajah Ara yang sendu. Pipinya yang putih basah, dan matanya memerah serta membengkak. Emil menghapus jejak lembab di pipi istrinya.
"Maaf ya, Sayang. Kamu harus ngalamin ini semua," ucap Emil pelan dan penuh penyesalan, lalu mencium bibir Ara. "Aku janji ini hanya sebentar. Setelah semua selesai kita akan sama-sama lagi."
Ara menggeleng, kemudian mengangguk. "Jangan minta maaf. Ini salah satu ujian yang harus kita lalui. Aku percaya kamu bisa menuntun aku lewatin semuanya." Ara balas mencium bibir Emil. Keduanya berciuman penuh keharuan dan tentu saja cinta.
Emil yang lebih dulu memutus kontak mereka. Ia tersenyum memandangi perempuan muda yang selalu berpikir dewasa di hadapannya. Ia kecup keningnya dengan sayang. Lalu mengajak Ara berdiri dan menduduki kursi belajar yang ditempati Ara sebelumnya. Diajaknya Ara duduk di pangkuannya.
"Aku bantu ya," kata Emil membiarkan Ara mengambil alat tulisnya lagi. Dari bahu Ara, Emil bisa melihat kertas yang ada di meja belajar istrinya itu.
- Fotokopi buku nikah
- Foto pernikahan
- Foto Emil lagi senyum
- Foto Emil lagi pakai jas
- Foto Emil lagi olahraga
- Foto Emil lagi tidur
- Kemeja Emil
- Kaus Emil
- Gelas Emil
Emil tertawa saat mendapati bahwa daftar bawaan yang dibuat istrinya adalah semua yang berhubungan dengan dirinya. "Kok jadi foto sama barang-barang aku semua?" tanya Emil pada istrinya yang wajahnya sudah mulai memerah. Emil memiringkan kepalanya dan hanya berjarak pendek dengan pipi tembam yang memerah itu.
"Ya nanti kan aku kangennya sama kamu, jadi buat ngobatin kangen ke kamu, aku mau bawa barang-barang kamu," jawab Ara polos.
Emil tertawa lagi mendengar jawaban Ara. Merasa gemas dengan istrinya sendiri, Emil mencium pipi Ara berkali-kali, sambil dusel-dusel pada pipi yang mirip bakpau itu. "Cinta banget aku sama kamu, Mutiara," ujar Emil disela-sela kegiatan mencium pipi Ara.
Ara kegelian, tapi tidak berusaha menghindar. Dia membiarkan saja moment menyenangkan bersama suaminya. "Aku juga cinta banget sama kamu, Gemilang."
---
Salam,
rul
KAMU SEDANG MEMBACA
Celebrity's Girl
RomanceAra hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ara sudah bersuami. Emil selalu dielu-elukan kemana pun langkahnya berpijak. Seora...