Ara menutup pintu apartemennya pelan, hingga kemudian terdengar bunyi tring tanda sistem keamanan pintu kembali aktif. Tangannya mencari sakelar untuk mematikan beberapa lampu yang tidak perlu dinyalakan karena sebelumnya, empat lampu otomatis menyala begitu pintu depan terbuka.
Ara menduduki sofa ruang tamu yang merangkap menjadi sofa ruang keluarga. Kakaknya belum pulang, mungkin sedang keluar entah ke mana. Karena menurut Fatheema, Ahmed sudah pulang. Ibu hamil itu mengelus perutnya. Padahal ia hanya pergi tidak lebih dari tiga jam bersama Fatheema dan Ai, tapi dirinya sudah kelelahan. Kalau dipikir-pikir, Ara memang gampang kelelahan. Bahkan, di awal kehamilan Ara bisa sampai drop dan pingsan. Untungnya, janin dan fisik Ara sendiri sudah jauh lebih kuat.
Setelah beberapa saat beristirahat sejenak, Ara bangkit menuju ranjangnya. Apartemen Gamal tidak ada bedanya dengan apartemen milik mahasiswa asing lainnya. Hanya berupa studio, di mana ruangannya tidak dibatasi oleh apapun. Hanya ada tiga pintu di apartemen ini, yaitu pintu depan sebagai pintu utama akses keluar-masuk, yang kedua pintu kamar mandi, dan yang ketiga pintu lemari. Namun, semenjak Ara tinggal di sini, Gamal memasang tirai untuk membatasi ranjang dan ruangan-ruangan lainnya. Memberi sedikit privasi pada adiknya, juga pada ibunya yang dulu sempat menemani awal kepindahan Ara.
Ara membuka tirai pembatas berwarna gelap itu lebar-lebar. Apa yang dilihatnya di balik tirai itu, tepatnya yang dilihatnya di atas tempat tidur, benar-benar membuat Ara terkejut. Kaget setengah mati.
Air mata Ara turun begitu saja. Lihat saja siapa yang ada di atas ranjang berseprai putih itu. Ara tahu betul kepala siapa yang menyembul di balik selimut itu. Rambut hitam itu milik suaminya, Gemilang Arka Hadijaya. Pria yang sangat dicintainya, dirinduinya setiap hari.
Ara mengelap kasar air matanya, seraya mengucek matanya hanya untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan lah halusinasi. Bahwa penglihatannya masih baik-baik saja dan tidak seperti malam-malam lain saat dia merasakan kehadiran Emil karena terlalu merindukannya. Bayangan Emil ada, tapi hilang dalam satu kedipan mata.
Sementara pria yang bergelung di balik selimut itu mulai terusik dengan suara isak kecil yang perlahan mengganggu tidurnya. Emil sedikit mengeluh dalam tidurnya. Hari ini terasa begitu melelahkan bagi calon ayah ganteng itu. Tengah malam tadi Emil datang terlambat ke bandara dan ketinggalan pesawat. Ini menjadi hal gila bagi Emil yang memilih untuk menginap di bandara agar bisa menaiki penerbangan paling pagi. Sayangnya, setelah Emil menaiki penerbangan pertama yang berangkat menuju Kuala Lumpur untuk transit, pesawat menuju Jepang di tempat persinggahan itu delay selama hampir tiga jam.
Sesampainya di Jepang, Emil kelimpungan karena baterai ponselnya habis daya. Ingin menghubungi Ara, ia belum hapal nomor baru istrinya itu. Jadilah ia menghubungi Gamal, dibantu petugas bandara yang mau berbaik hati menolongnya. Emil pun menunggu Gamal yang baru tiba di Tokyo setelah dari peternakan.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Emil sudah membayangkan wajah Ara yang begitu dirindukannya. Ara pasti akan terkejut karena dirinya tiba-tiba saja muncul di depannya tanpa pemberitahuan sama sekali. Emil bahkan sudah mendaftar hal-hal apa saja yang akan dilakukannya ketika bertemu Ara. Menciumnya, memeluknya, dan tentu saja menyapa calon anaknya. Intinya, Emil akan pepet Ara terus!
Nyatanya, begitu sampai di apartemen, yang dia temui adalah kekosongan. Rupanya Ara belum kembali dari acara jalan-jalannya bersama dua sahabat barunya. Kontan saja kelelahan dan kelaparan langsung melanda Emil. Jadi, dia memilih untuk beristirahat dan meminta Gamal membelikannya sesuatu untuk dimakan.
"Hiks..."
Kayak denger suara orang nangis. Eh tunggu, itu kan suara...
Emil langsung terlonjak saat menyadari suara itu berasal dari istrinya. "Ara?"
"Huaa..." Tangis Ara malah bertambah saat Emil loncat begitu saja dari ranjang dan mendekat ke arahnya.
"Kamu kenapa nangis, Sayang? Siapa yang bikin kamu nangis?" tanya Emil cemas, dengan kedua tangannya yang berada di lengan atas Ara. mengguncang pundak Ara yang bergetar.
"Kamu... kamu pake nanya segala." Suasah payah Ara berusaha untuk menjawab pertanyaan Emil, meskipun jawabannya malah membuat Emil semakin bingung. "A-aku... aku kan kangen," ujar Ara menyelesaikan kalimatnya.
Emil mendesah lega sebelum terkekeh saat memahami situasi yang sebenarnya. Jadi, Ara sangat merindukan dirinya. Sampai menangis seperti ini. Tidak kuasa lagi, Emil pun menarik Ara dalam dekapannya. Membiarkan Ara menghabiskan tangisnya di dadanya.
Dikecup dan dibelainya rambut Ara. Diusap dan ditepuk pelan juga punggung Ara sampai tangisan itu mereda dengan sendirinya. Barulah Emil sedikit menjauhkan tubuh mereka, dengan tangan masih menjangkau pinggang serta punggung Ara.
Emil memerhatikan wajah Ara lekat-lekat. Wajah yang sudah dua bulan lebih tidak dilihatnya secara langsung. Diciumnya dahi Ara, lalu turun ke sudut mata Ara yang masih berair. Bibir Emil turun untuk mencium kedua pipi Ara yang juga terasa basah menyisakan air mata.
Terakhir, Emil mencium bibir Ara. Pelan tapi pasti Emil menyesap bibir Ara, bergantian atas-bawah. Semakin lama ciuman Emil dan Ara semakin intens dan saling memburu. Ara sampai lemas, dan tangannya sudah berpindah mengalungi tengkuk Emil.
"Ka-ngen kamu..." Ara masih mencoba bersuara di antara ciuman lapar mereka.
"Iya, aku tahu. Aku juga kangen," balas Emil dengan suara rendah dan berat, nyaris terdengar seperti geraman. Emil kembali menciumi Ara lebih rakus dari sebelumnya.
Baru saja lidah Emil ingin menerobos mulut Ara, sudah terdengar suara lain yang menerobos pintu apartemen dan berseru, "Astaghfirullah! Jangan mesumin adek gue woy!"
---
"Enak aja lo mau tidur di kasur! Nggak ada ceritanya," protes Gamal keras saat Emil hendak menyusul Ara yang sudah bersiap untuk tidur setelah mereka makan malam bersama dan menonton televisi.
"Lha? Emang kenapa kalo gue tidur sama Ara?" tanya Emil tidak mengerti. Dirinya kangen berat untuk tidur memeluk Ara, eh malah kakak iparnya ini menghalangi.
"Tidur apaan? Yang ada entar lo malah mesumin Ara mulu lagi," balas Gamal sambil mendumel. Ucapan Gamal itu sukses membuat wajah Ara memerah hingga ke telinga. Ara jadi teringat bahwa satu jam yang lalu kakaknya itu memergoki dirinya dan Emil sedang berciuman dahsyat. "Pokoknya cuma ada dua pilihan, tidur di sofa atau futon."
Emil mendengus sebal pada Gamal sebelum beralih pada Ara. "Sayang, cari hotel yuk," pinta Emil dengan tampang memelas, yang semakin membuat Ara malu. Emil genit!
Ara hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakak dan suaminya itu, dan memilih untuk kabur ke ranjang. Emil pun buru-buru mengkuti langkahnya. Sayangnya, dengan gerakan gesit Gamal langsung menghadangnya. Segera saja Gamal menarik tirai yang membatasi ranjang itu. Belum sempat tirai tertutup rapat, Emil cepat-cepat mencuri kecupan kilat di bibir Ara.
"Selamat tidur, Mutiaraku," ucap Emil sebelum tirai itu benar-benar tertutup.
---
Huaa.... satu part lagi.
---
Salam,
rul
KAMU SEDANG MEMBACA
Celebrity's Girl
RomanceAra hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ara sudah bersuami. Emil selalu dielu-elukan kemana pun langkahnya berpijak. Seora...