Sudah 24 jam berlalu sejak berita itu tersebar luas. Ara dan Emil baru kembali ke rumah mereka sendiri. Semalam, mereka tinggal di kediaman orang tua Gifar. Wartawan yang mengikuti mereka dari sekolah Ara kemarin membuat mereka kerepotan mencari tempat singgah. Rumah keluarga Ara, baik yang di Jakarta maupun Bandung didatangi, rumah keluarga Hadijaya lebih parah, wartawan sampai menginap di sana.
Gifar sendiri harus putar akal untuk mengelabui para wartawan. Berputar-putar mengelilingi Jakarta, lalu mampir ke kantor ayahnya, untuk bertukar mobil di sana. Bukan hanya sekali, itu dilakukan beberapa kali, termasuk berganti mobil dengan Kania.
Tidak mungkin mereka kembali ke rumah mereka sendiri selagi masih diburu para pemburu berita, sementara rumah itu sebenarnya rumah yang paling aman untuk ditinggali karena tidak banyak yang tahu keberadaannya.
Emil membantu Ara turun dari mobil, karena tubuh Ara terlihat lemas sejak terpaksa berkeliling naik mobil. Kemarin Ara sempat muntah dua kali. Hal ini membuat Emil cemas lagi.
"Ya Allah, Mbak Ara," Bi Isa langsung menyambut mereka ketika membukakan pintu untuk dua orang yang ditunggu-tunggunya. "Mbak Ara baik-baik aja, kan?" Bi Isa langung berinisiatif untuk membantu menuntun Ara.
Ara mengulas senyum tipis di bibir pucatnya. Sebagai ungkapan terima kasih pada wanita yang sedari kecil sudah merawatnya. Mereka memasuki rumah dari pintu carport yang terhubung dengan dapur kemudian ruang makan.
Di sana, dengan santainya seorang pria sedang menyantap soto mie Bogor. "Hai," sapa pria itu santai lengkap dengan senyum sumringahnya.
"Kak Gamal!" Ara sampai melepaskan diri dari Emil dan Bi Isa secepat kilat untuk menghampiri kakak kandung satu-satunya itu. Gamal berdiri dan segera menyambut adik kesayangannya dalam pelukan hangat penuh kerinduan.
---
Emil cemberut memandang penuh rasa iri karena sejak satu jam yang lalu Ara memeluk Gamal tanpa melepaskannya sedikit pun. Kalau itu laki-laki lain, mungkin Emil sudah membunuhnya. Tangannya gatal ingin menarik Ara dalam dekapnya. Sebisa mungkin Emil menekan keinginannya untuk merengkuh Ara, karena ia tahu istrinya tercinta sedang ingin bermanja dengan kakak kandungnya yang sudah cukup lama tidak bertemu.
"Jadi di dalem perut kamu ada calon keponakan aku, Dek?" tanya Gamal pada Ara yang masih betah bersandar dan memeluk lengannya.
Ara mengangkat kepalanya, lalu mengangguk antusias. Tangannya bergerak ke arah perutnya yang sedikit membuncit. "Kakak mau pegang?" tawar Ara.
Emil bergegas saat mendengar tawaran Ara. Ia menggeser Gamal agar menjauh dari Ara. Lalu duduk di antara keduanya. Ara menatap Emil bingung, sementara Gamal hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah protective calon bapak itu.
---
"Lo mau kasih alesan apa kalo udah kejadian begini?" tanya Gamal tajam pada Emil. Setelah menahan diri untuk menegur adik ipar sekaligus sahabatnya, akhirnya Gamal mendapatkan kesempatan itu. Ara sedang tertidur di kamar, sedangkan dua pria seumuran itu berada di ruang baca. "Bisa-bisanya lo kelepasan sampe Ara hamil. Lo nggak mikirin pendidikan Ara? Masa remajanya Ara? Bayangin, Ara drop out!"
"Gue bukannya sengaja, oke?" elak Emil tak terima dengan tuduhan Gamal yang menyebutnya tidak memikirkan Ara. "Yang gue tahu Ara minum pil. Apa yang udah kejadian sekarang, nggak akan gue sesali sedetik pun. Gue bahagia dengan kehamilan Ara. Sekarang, fokus gue hanya jagain mereka," ujar Emil yakin.
"Terus apa yang mau lo lakuin? Ara udah nggak sekolah. Namanya, nama lo, nama keluarga kita, difitnah abis-abisan. Astaga, bahkan ada yang nyebut Ara pelacur kecil! Shit!"
Emil mendidih mendengar ucapan Gamal. Dia bisa saja menerima fitnah, hujatan, gosip, atau apapun namanya, jika ditujukan untuk dirinya. Tapi, keluarganya, keluarga mertuanya, bahkan Ara! Tidak, tidak bisa ia biarkan.
"Argh!" Emil mengusap kasar wajahnya. Perasaan tidak nyaman menyergapnya, selipan kata 'gagal' muncul ke permukaan. Gagal menjadi anak, gagal menjadi menantu, gagal menjadi suami, juga gagal menjadi artis. Kalau semua masalah ini tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin ia gagal menjadi ayah.
Emil benar-benar tidak mau hal itu sampai terjadi.
"Semua masih bisa diperbaiki, Mil. Gue percaya lo bisa nyelesein semuanya. Ngembaliin semua ke posisi awal. Selama masa itu, percayain Ara sama gue," ucap Gamal membuat Emil yang tadinya sedang menunduk dan menutup wajahnya langsung mengangkat kepala.
"Maksud lo?" Emil bertanya dengan nada sinis, ia seperti bisa menebak arah pembicaraan Gamal. Emil tidak ingin mendengarnya, apapun itu.
Gamal menarik napas dalam, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Biar Ara ikut gue ke Jepang, untuk sementara."
Emil menyipitkan matanya, tangannya mengencang pada pinggiran kursi yang sedang didudukinya. "Lo mau ngejauhin Ara dari gue?" tanya Emil tak percaya. Di pikirannya sekarang, Gamal seperti monster jahat yang akan mengambil istrinya.
"Sementara, Mil," Gamal menurunkan nada bicaranya, mencoba memberi pengertian pada Emil. "Ara bisa tenang dan aman di sana. Dia juga nggak perlu stres, dikejar wartawan kayak di sini, denger berita nggak enak. Dia bisa fokus sama kehamilannya."
Emil terdiam, merenungkan ucapan Gamal. Semakin dipikirkan, kepalanya semakin ingin pecah. "Siapa yang bakal jagain Ara di sana? Gue ... gue nggak bisa jauh dari Ara, Mal."
"Buat Ara, buat anak kalian. Ara butuh yang terbaik," saran Gamal lagi membuat Emil kembali menundukkan kepalanya. "Pikirin secepatnya. Gue bisa bantu untuk urusan dokumen," ucap Gamal sambil menepuk pelan bahu Emil dan berlalu meninggalkan adik iparnya itu berpikir sendiri.
---
[Mahisa Bersaudara]
---
Rencana malam mingguan gagal, soalnya hujan deras di tempatku. Jadi, aku lanjutin CG deh. By the way, part 40 ke atas akan aku private ya. Selamat malam minggu semuanya.
---
Salam,
rul
KAMU SEDANG MEMBACA
Celebrity's Girl
RomanceAra hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ara sudah bersuami. Emil selalu dielu-elukan kemana pun langkahnya berpijak. Seora...