Ara menggigiti kuku ibu jari kanannya. Kakinya yang terbalut kain batik bergerak-gerak gelisah. Sudah hampir satu jam Ara berdiam diri di kamarnya. Gugup dan cemas adalah dua hal yang sangat mendominasi perasaan Ara. Di luar sana, tepatnya di lantai satu ruang tamu rumahnya, keluarganya sedang menerima kedatangan keluarga Emil yang bermaksud melamarnya.
Dua minggu berlalu setelah Ara menerima lamaran pribadi Emil. Seminggu yang lalu, Emil datang dan memberi tahu kepada orang tua Ara maksudnya yang ingin melamar Ara secara resmi bersama keluarganya. Saat itu, Emil benar-benar hanya memberi tahu perihal keinginannya untuk melamar tanpa meminta jawaban. Niat baiknya itu akhirnya ia sampaikan secara resmi bersama keluarganya hari ini.
Semalam, Ara masih belum tahu apakah ayahnya akan menerima pinangan Emil dan keluarganya. Ayah dan ibunya sudah berkali-kali bertanya keyakinan Ara untuk mengatakan 'iya' sebagai jawaban. Ara sudah yakin, bahwa dirinya siap untuk menjadi istri seorang Emil Arka. Ia percaya sepenuhnya pada Emil, bahwa Emil tidak akan pernah menyakitinya. Ara pun selalu memanjatkan doanya, melipatgandakan salatnya dengan ibadah sunnah. Hingga ia mendapat mimpi penting yang semakin menguatkan tekadnya. Dalam mimpinya, Gendis –Mama Emil- memakaikan kalung yang sesuai dengan cincin yang diberikan Emil pada malam ia dilamar di dalam mobil.
Sekarang, keputusan terakhir ada di tangan ayah Ara. Jika ayahnya memberikan yes, maka cita-cita Ara dan Emil mengikat hubungan mereka dalam ikatan yang sah akan terwujud. Ara tahu ayahnya tidak mungkin memberikan no, seburuk-buruknya jawaban ayahnya, mungkin yang keluar adalah not now.
Ara meringis karena gignya tidak sengaja menggigit kuku jarinya dengan keras saat pintu kamarnya terbuka. Sosok Gina yang memakai kebaya warna hijau muncul dengan senyum simpul yang belum berani ditafsirkan oleh Ara.
"Ayo, Ra, kamu sudah ditunggu di bawah," ajak Gina sambil menuntun Ara.
Ara menahan langkahnya, tepat di pintu kamarnya. "Jawaban ayah apa, Bu?"
Gina mengusap pelan punggung Ara. "Kita cari jawabannya di bawah."
Saat Ara dan Gina menuruni tangga, semua mata langsung terarah kepadanya. Tidak banyak orang di ruang keluarganya. Dari pihak keluarga Ara, ada ayahnya, juga Mbah Akung dan Paklik, seta Pakde dari pihak ibunya yang datang kemarin siang. Sementara dari pihak Emil, Ara mengenali Andhika Hadijaya dan Gendis Arumsari, lalu Kania bersama suaminya, serta Gifar bersama sepasang suami istri yang Ara perkirakan sebagai orang tuanya. Lamaran yang sederhana memang, tentu saja karena ini adalah lamaran dari seorang selebriti.
Tanpa sadar, Ara menggigit bibirnya ketika pandangan matanya bertemu dengan milik Emil. Emil memberikan senyum tipis yang selalu membuat Ara tenang. Senyum yang selalu menular, tapi tidak kali ini. Ara masih tidak tenang karena masih tidak tahu jawaban yang diberikan ayahnya.
"Baiklah, sebelum Ayah menjawab niatan dari keluarga Pak Dhika, Ayah ingin bertanya pada kalian," ujar Triadi setelah Ara duduk di tengah, di antara dirinya dan istrinya. "Kita semua tahu, Mutiara masih sangat muda, usianya baru menjelang 17 tahun. Nah, Ayah mau mendengar alasan apa yang membuat Emil ingin menikahi Ara?" Pertanyaan itu ditujukan untuk Emil yang duduk berseberangan dengan mereka.
Emil berdeham, matanya melirik sekilas ke arah Ara yang menunduk, lalu kembali memusatkan perhatian pada bakal calon ayah mertuanya. "Kalau Ayah bertanya alasan saya ingin menikahi Ara, saya punya lebih dari sejuta alasan. Tapi waktunya pasti akan sangat panjang, karena itu, saya akan memberi tahu tiga alasan utama mengapa saya ingin menjadikan Ara sebagai istri saya." Emil berujar mantap, meskipun tangannya sedari tadi tidak biasa diam. Saat gugup, Emil refleks mengusap telapak tangannya ke pahanya.
"Yang pertama, tentu saja karena saya sangat mencintai dan menyayangi Ara." Tidak ada kergauan sedikit pun saat Emil mengucapkannya. Emil tidak tahu apa, kalau efeknya akan luar biasa pada kerja jantung Ara yang jadi berlebihan?
"Lalu, saya sadar Ara memang masih sangat muda. Tapi saya rasa itu tidak mengurangi kedewasaan Ara dalam menyikapi hidup. Saya yang lebih dewasa, berjanji akan membimbing Ara, menjadi imam yang baik, menjadi kepala keluarga yang bisa dibanggakan kelak. Dan alasan ketiga, untuk menjaga kehormatan Ara sebagai wanita. Menjaga Ara dari pergaulan bebas remaja, fitnah, dan zina. Saya ingin kebersamaan kami sah di mata agama dan negara. Kebersamaan yang bertanggung jawab."
Ara tertegun mendengar penuturan Emil. Hatinya berdesir, keyakinannya semakin kuat untuk menyerahkan diri dan hatinya untuk dijaga oleh Emil. Seumur hidup.
"Sekarang kamu, Ara," tegur Triadi membuat Ara terkesiap. "Apa kamu sudah siap menjadi seorang ibu rumah tangga?"
Mendengar kata-kata 'ibu rumah tangga,' otomatis Ara memutar kepalanya ke arah Gina. Ibu yang luar biasa, ibu hebat yang selama ini begitu menyayanginya, menjadi panutan yang baik, dan Ara ingin menjadi seseorang seperti ibundanya. Ditatap seperti itu oleh putri kesayangannya, Gina tersenyum lembut dan mengusap rambut Ara penuh kasih.
Ara terus meyakinkan dirinya sendiri sembari mengucap nama Sang Penguasa berkali-kali dalam hatinya. Akhirnya Ara mengangguk. "Ara siap, Yah. Ara percaya sama Emil," ujar Ara sambil menatap Triadi dan Emil bergantian.
'Ara siap.' Setelah dua kata itu, semua yang berada dalam ruangan itu langsung mengembuskan napas lega. Apalagi Emil, hatinya berbunga-bunga, lebih berbunga-bunga dari artis yang pergi ke Italia cuma untuk bobo cantik.
Triadi pun menjadi salah satu yang menghempaskan napasnya dengan cukup keras. Kemudian berdeham, sudah siap dengan jawabannya. "Bismillah, saya percaya kalian berdua bisa bertanggung jawab dengan pilihan kalian sendiri. Jadi... saya merestui kalau kalian ingin menikah."
Dalam sekejap, ucapan syukur saling bersahutan di ruangan itu. Begitu juga dengan Ara dan Emil, yang kini menjadi resmi sebagai calon pengantin. Mereka saling lirik, mengungkap rasa syukur lewat mata. Ada setitik air mata di sudut mata Ara, tapi Emil tahu, air mata itu adalah kebahagiaan. Bahagia karena pihak keluarga sudah merestui pilihan mereka.
"Jadi bener nih, aku bakal dilangkahi adikku?"
Semua menoleh ke arah sumber suara. Ke arah tablet yang tegak berdiri di sebuah meja yang tak jauh dari mereka. Di layar tablet, ada wajah masam pura-pura dari Gamal. Astaga, mereka semua lupa kalau dari tadi on the line dengan Gamal yang jauh berada di sana.
"Liat aja, aku minta pelangkah yang wah dari kalian."
---
Part yang pake huruf, macam aljabar -halah, aljabar- adalah flashback. Ini yang terakhir, berikutnya udah balik ke kehidupan pascamenikah Ara-Emil. See ya!
---
Salam,
rul
KAMU SEDANG MEMBACA
Celebrity's Girl
RomanceAra hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ara sudah bersuami. Emil selalu dielu-elukan kemana pun langkahnya berpijak. Seora...