Ada yang kangen nggak sama Emil-Ara?
Kalo sama aku? *siapalah aku ini*
Seperti biasa, pendek aja. CG ini emang dibuat jadi part bukan chapter. Makanya nggak bisa dibilang bab, cuma berani bilang bagian. Jangan diprotes ya. Selamat membaca.
---
"Terima kasih Tuhan, akhirnya Ara sadar juga," ucap Dhea penuh syukur yang disahuti oleh Tata.
Ara memandang ke sekelilingnya. Lalu mengernyitka keningnya, kebingungan saat menyadari dirinya berbaring di ruangan serba putih.
"Kok aku bisa ada di sini?"
"Tadi lo pingsan, Ra. Abis kegebok bola," jawab Dhea sambil membantu Ara untuk duduk. Sementara Tata mengambilkan air putih dan meyodorkannya untuk diminum Ara.
Bibir gelas itu hampir saja menyentuh bibir Ara, ketika Ara sadar bahwa ada sesuatu yang harus dikhawatirkannya. Tangannya otomatis bergerak menyentuh perutnya. Masih sama seperti sebelum ia pingsan. Apakah calon bayinya baik-baik saja?
"Kenapa, Ra? Perut lo sakit? Apa lo laper?" tanya Dhea bertubi-tubi.
Ara hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia masih diliputi rasa khawatir akan kondisi janin yang ada dalam perutnya.
"Aku boleh pulang nggak? Badanku lemes banget," keluh Ara sambil memijat pelipisnya.
Dhea dan Tata saling pandang, kemudian mengangguk. "Ya udah, lo pulang aja. Biar dianter ya sama Pak Ming," ujar Tata menyebutkan nama supir pribadinya.
"Duluan aja ke parkiran. Biar gue yang izin sama guru di kelas dan guru piket. Sekalian ngambil tas lo." Kali ini Dhea yang memberi usul.
Ara selalu merasa beruntung bisa berada di antara kedua sahabatnya yang luar biasa baik dan perhatian.
---
Ara tidak minta diantarkan ke rumahnya. Melainkan minta diturunkan di sebuah rumah sakit. Setelah berpesan pada Pak Ming untuk tidak memberitahukan apapun pada Tata, Ara pun turun dari mobil mahal itu.
Di rumah sakit, Ara menunggu Kania yang sudah dihubunginya beberapa saat lalu ketika ia masih dalam perjalanan. Kania yang tidak bisa datang karena sedang menghadiri acara di sekolah Alika, akhirnya meminta Gendis yang menemani Ara di rumah sakit.
"Ara sayang, kamu pulang ke rumah Mama aja ya, Nak?" tawar Gendis setelah mereka keluar dari ruang pemeriksaan. Gendis jelas khawatir dengan keadaan menantunya yang cantik itu. Mendengar menantunya pingsan untuk yang kedua kalinya membuatnya cemas luar biasa. Apalagi setelah mendengar peringatan dokter bahwa Ara harus bedrest setidaknya sampai besok seharian.
Gendis mana mungkin membiarkan menantunya yang manis ini sendirian di rumah. Sementara putra satu-satunya punya jam kerja yang ajaib. Bisa saja pulang cepat, atau pulang tengah malam, bahkan mungkin saja bermalam di lokasi. Jalan satu-satunya adalah mengajak Ara tinggal di rumahnya. Jangan sampai Ara pergi ke Bandung lagi deh.
Ara mengangguk kecil, tak kuasa membantah rasa khawatir sang mama mertua. Lagipula, sepertinya Ara memang sedang tidak ingin sendirian.
---
-Ara sempat pingsan di sekolah. Sekarang Ara di rumah Mama.-
Emil rasanya ingin membanting ponsel di tangannya saat membaca pesan dari ibunya. Belum lagi pesan dari Kania yang belum ia baca. Pesan yang memberi tahu bahwa Ara sempat pingsan di sekolah, kemudian dibawa ke rumah sakit untuk kontrol . Pesan itu masuk ke ponselnya sejak lima jam yang lalu. Meskipun sudah ada pesan yang menyebutkan bahwa Ara baik-baik saja, tapi Emil tetap saja cemas dan gusar.
Di sebelahnya, Gifar yang baru duduk dan mengecek ponsel, langsung membesarkan matanya. "Astaga, kata Tante Gendis, Ara pingsan lagi. Di sekolah!" seru Gifar tertahan pada Emil.
Ya, Emil dan Gifar baru saja mendapat break yang cukup panjang setelah melakukan syuting di outdoor. Keduanya tidak membawa ponsel dan meninggalkannya di mobil. Barulah menjelang Magrib ini, mereka kembali ke mobil dan masing-masing mengecek ponsel.
Gifar menoleh karena merasa pemberitahuannya tidak mendapat tanggapan dari Emil. Rupanya Emil sudah sibuk dengan ponsel yang menempel di telinganya. Wajahnya dipenuhi rasa khawatir menunggu panggilan yang belum dijawab.
Tubuh Emil yang terlalu kaku sebelumnya, akhirnya mengendur. "Ara?"
"Ini Mama. Ponsel Ara Mama sita biar Ara bisa istirahat," sahut Gendis. Suaranya terdengar tidak bersahabat.
"Kondisi Ara gimana, Ma?"
"Membaik. Tapi, kalau kamu mau tau, mending cepat pulang. Assalammualaikum."
Emil menyipitkan matanya menatap layar ponsel. Memastikan bahwa panggilannya memang sudah diakhiri sepihak. Pikiran buruk langsung menyergapnya karena sikap ibunya yang dingin dan cuek.
"Masih ada berapa scene lagi?" tanya Emil pada Gifar.
Gifar menelan ludahnya sebelum menjawab. "Lebih dari sepuluh," jawabnya tidak enak hati.
"Siaaaal."
---
Salam,
rul
KAMU SEDANG MEMBACA
Celebrity's Girl
RomantizmAra hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa Ara sudah bersuami. Emil selalu dielu-elukan kemana pun langkahnya berpijak. Seora...