Part 39

125 21 0
                                    

"Gue di.. di per..kosa, Cal," jawab Tami dengan terbata-bata.

Aku terkejut mendengar ucapan dari mulutnya, "SIAPA? SIAPA YANG MERKOSA LO? KENAPA RIVALDO GA NOLONGIN LO? KE MANA SI SETAN BEJAT ITU?" tanyaku dengan nada yang tinggi.

Tami hanya menggeleng, kemudian kembali lagi menangis. Aku berjalan dan duduk di sampingnya. Kepala Tami kusenderkan di pundakku dan lagi-lagi ia menangis tanpa henti. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Tami. Sangatlah hancur, bahkan tipis baginya untuk menggapai masa depan miliknya kembali. Aku mengelus rambut Tami perlahan, mencoba untuk menenangkan perempuan yang satu ini.

"Tam, udah Tam... Gue bakal bantuin sebisa gue, supaya lo kembali jadi lo yang dulu... Seorang Utami Natasha yang ceria dan gue bakal bawa lo ke dokter kandungan, gue berharap ngga ada janin yang tumbuh di perut lo," ucapku dengan penuh harapan.

Aku mendengar hembusan nafas dari hidung Tami yang menandakan hatinya sedikit tenang sekarang. Akupun tersenyum lebar karena usahaku untuk membuat hatinya tenang dan tak lagi menangis sudah berhasil.

"ASTAGA!!!" Aku langsung melepas pelukanku saat aku mengingat bahwa malam ini aku mempunyai sebuah acara dengan keluargaku.

Wajah Tami sangat bingung ketika aku merogoh tas untuk mengambil handphone milikku,

"Ya Tuhan, 32 panggilan ngga terjawab dari mama?" kataku cemas saat melihat pemberitahuan yang tertera di layar handphoneku.

Aku segera menelfon mamaku kembali, tapi ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif. Jantungku berdetak kencang, takut kalau terjadi sesuatu dengan mamaku. Mamaku akhir-akhir ini menderita sesak nafas karena terlalu sering bekerja dan mengurus kedua putri kecilnya itu.

"Tam... Sorry, gue harus balik ke rumah... Lo ngga papa kan di sini? Kalo ada sesuatu, lo bisa hubungin gue. Gue tinggalin kartu nama gue di sini," ucapku dengan perasaan yang masih tidak karuan.

Tami mengedipkan kedua matanya dan aku segera berlari keluar dari hotel ini.

***

Tiba saatnya Aku berada di Kompleks Perumahan Matteo. Aku menjalankan mobil ini dengan perlahan karena aku melihat di sepanjang komplek terdapat karangan bunga. Aku memberhentikan mobilku di saat melihat ada banyak lelaki dan wanita paruh baya tengah keluar masuk dari dalam rumahku.

"Oh Tuhan, Jangan bilang kau sudah mengambil mamaku," gumamku yang langsung keluar dari dalam mobil.

Dan benar! Bendera kuning tengah terpampang di atas pagar rumahku. Lututku sangat lemas ketika melihatnya. Di tambah ada 1 orang ibu-ibu yang menghampiriku agar aku bisa bertabah dan menerima kenyataan yang sekarang. Apa ini? Ini hari Ulang Tahunku. Tapi kenapa Tuhan malah kasih aku sebuah kado duka?

Aku segera berlari masuk ke dalam. Rachel dan Bella tengah menangis di samping Jasad yang kini terselimuti oleh sehelai kain berwarna coklat, Kulihat di sekitar rumahku sedang berkabung. Tapi? Ke mana Papa Tiriku? Jangan bilang kalo dia yang ngebunuh mamaku terus sekarang dia kabur?!

Aku mendekati Bella dan juga Rachel,

"Kak..." ucap Rachel dengan lirih

Aku mengusap rambut keduanya dengan perlahan, ku perhatikan jasad yang berada di sampingku ini. Aku sama sekali tidak ingin membukanya karena aku pasti tidak akan kuat menerima kenyataan kalau mama sekarang sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Aku melihat Papa tiriku masuk ke dalam rumah dengan wajah yang terlihat sedih, Aku segera bangkit dan menghampirinya. Kutatap kedua matanya dengan nafas yang memburu,

"OM! OM ITU KENAPA SIH NGGA BISA JAGAIN MAMA?! MAMA BEGINI KARNA SIAPA?? KARNA ANAK-ANAK OM ! TUHAN UDAH AMBIL ORANG-ORANG YANG AKU SAYANG DAN AKU CUMA PUNYA MAMA. TAPI KENAPA SEKARANG TUHAN NGAMBIL NYAWA MAMA ? OM YANG NGEBUNUH MAMA! AKU BENCI SAMA OM!"

Emosiku tidak bisa ku kendalikan di saat melihat duda yang berada di hadapanku ini, "Non Cal... Sabar Non..." ucap Mba Yanti yang berada di belakangku.

Kemudian Mba Yanti menyuruhku untuk kembali duduk di samping jasad mama. Malam semakin larut, tetanga pun juga sudah meninggalkan rumahku. Sederet karangan bunga turut berduka cita masih terpampang di halaman rumahku, dua lembar bendera kuning juga masih berkibar di atas pagar rumahku.

Dan sekarang hanya tinggal aku yang berada di ruang tamu ini. Ya, cuma aku. Ku lihat Mba Yanti menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar, tapi aku menolak. Bagaimana aku bisa tidur dengan nyenyak ketika melihat orang yang aku sayangi satu-satunya ini tengah terbaring kaku.

Aku belum siap menjadi Yatim Piatu, Aku belum siap mengurus perusahaan Mama, Aku belum siap untuk mengerjakan semuanya sendiri, belum lagi mengurus kedua adik tiriku. Gimana nasib kuliahku nanti?

Semua lampu utama yang berada di rumah ini telah di matikan oleh Mba Yanti. Rumah kembali hening di saat aku terus menatap jasad Mama yang wajahnya masih terselimuti oleh selembar kain itu. aku menarik nafas dengan berat sesaat setelah membuka kain tersebut dan melihat wajah pucat Mama, Jantungku-pun kembali lemas. Ku tatap wajahnya yang tanpa menunjukkan ekspresi sedikitpun. Bibirnya juga sudah memucat.

"Mah..." ucapku dengan lirih.

Ku usap pipi lembut Mama dengan perlahan, Tak sadar Air mataku kembali membasahi kedua pipiku, "Mama kenapa ninggalin Cal? Kenapa Tuhan jahat sama Cal?" tanyaku kepada Mama yang ku harap Mama akan menjawab pertanyaanku.

Aku menghembuskan nafas dengan berat saat merasakan tangan Mama yang begitu dingin ketika aku menggenggamnya, "Kenapa aku selalu menjadi tujuan kedukaan yang engkau berikan, Tuhan? Kenapa? Why me?" batinku.

Jam kini menunjukkan pukul 11 malam. Aku segera berjalan keluar untuk membuka pintu depan rumahku. Ya, Aku membuka lebar kedua pintu ini. Aku melihat cahaya bulan pada malam ini sangatlah terang, memperlihatkan warna hitam kelam yang di hiasi kerlipan bintang. Aku kembali menarik nafasku dan duduk di sebuah kursi kayu minimalis yang terletak di depan teras.

Aku menjajarkan kedua kaki ini lurus ke depan, suara jangkrik mulai terdengar dari taman yang berada di depanku,

Hening...

Duka...

Air mataku kembali menetes ketika Aku merangkum semua kedukaan yang pernah aku alami sampai aku mengucap sebuah kalimat memohon agar Tuhan mencabut nyawaku juga. Supaya aku bisa bersama mereka di Surga, tanpa ada lagi tetesan air mata yang keluar.

[Completed] Heart In The SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang