41

5.6K 281 10
                                    

Sean kembali berbuat ulah.

Seharusnya mereka bersiap-siap untuk waktu yang akan datang. Seharusnya mereka menyiapkan pasukan yang sementara berlatih, bukan terluka sebelum waktu yang ditentukan. Aldrich benar-benar harus menonjok wajahnya itu, kalau perlu hilangkan wajah sok tampannya. Sikap arogan Sean memang tak ketulungan. Keserakahannya juga tak dapat dianggap sepele. Justru hal itulah yang memicu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Jika saja Sean tidak ada. Jika saja dari awal Elle tahu bahwa Sean hanya berpura-pura, jika saja dia tahu bahwa Sean hanya memanfaatkannya..maka orangtuanya pasti masih hidup sampai sekarang dan kakek Warren tidak akan kehilangan anaknya. Salahkan Sean! Ya! Salahkan dia atas semua yang terjadi! Seharusnya Sean yang mati saat peperangan yang terjadi. Seharusnya nyawa Sean yang direnggut, bukan nyawa kedua orangtuanya.

Selain merenggut nyawa kedua orangtuanya, Sean jugalah yang menggoreskan luka di saat Elle merasakan pertama kali bagaimana rasanya jatuh cinta. Bagaimana hati yang berbunga-bunga. Jangan salah sangka, diumur yang ke delapan tahun, ia sudah seperti anak gadis berumur empat belas. Sifat kekanak-kanakkannya yang membuat ibunya masih menganggap dia gadis kecil. Ingat, dia bukan seorang manusia, melainkan seorang penyihir. Seharusnya ia tidak jatuh cinta kepada Sean saat itu. Sebenarnya siapa yang bodoh? Dia atau Sean?

Terlambat.

Hanya itu kata yang bisa terpikirkan olehnya. Terlambat untuk menyadari, terlambat, tidak ada yang bisa mencegah. Intinya, tidak ada yang bisa dilakukannya saat itu.

"Aaaaargh!" Erangnya frustasi.

Elle hanya berdiam diri di kamar, sedangkan Aldrich yang turun tangan menghadapi serangan dari pack Sean. Ia tahu, Aldrich akan marah besar jika ia ikut membantu. Tetapi hatinya tidak tenang. Gelisah, takut, dan entah kata apa yang harus mendeskripsikan dirinya yang sekarang. Berdiam diri salah, ikut membantu salah. Serba salah!

"Ah! Persetan dengan semuanya!" Umpatnya, dan langsung melesat pergi ke perbatasan barat. Dia mempunyai satu alasan untuk tinggal, tapi punya seribu alasan untuk pergi.

Setibanya disana, lumayan banyak serigala yang tergeletak tak bernyawa. Sekarang rasa bencinya semakin bertambah.

"Luna, apa yang kau lakukan disini?!" Jonathan mendelik. Ia tidak menduga bahwa Elle akan datang.

"Bernyanyi dan menari." Ia berjalan melewati Jonathan. "Tentu saja aku kemari untuk mencabut nyawa!"

Aldrich menggeram begitu melihat keberadaan Elle. Ralat Max. Sekarang ia berwujud serigala, dimana Max yang berkuasa atas tubuhnya.

Dengan penuh keberanian dan semangat yang membara, Elle menyerang menggunakan kekuatannya. Beberapa elemen yang dikeluarkan dari tangannya sudah cukup untuk membunuh anak buah Sean. Jika ia mau, ia dapat memisahkan kepala dan tubuh mereka. Namun ia sedang tidak mau mengotori tangannya.

"Mau apa kalian sekarang, hah?! Makanya kalau tidak ingin mati jangan mencari masalah dengan pack ini, sialan!" Teriak Elle penuh kemenangan. Ia tersenyum penuh arti.

Seharusnya, ia tidak cepat puas dengan apa yang diraihnya sekarang. Mungkin, takdir dan nasib bekerja sama untuk mempermainkannya.

Belati yang dipegang salah satu serigala penyerang yang berwujud manusia, ditusukkan ke tubuh Aldrich. Darah mengucur keluar dari luka tusuk tersebut. Elle berteriak, bergegas menghampiri Aldrich yang jatuh ke tanah. Sesuatu dalam dirinya, lepas. Menjadi liar jikalau belum dapat mengontrolnya.

Tubuhnya dipenuhi api biru. Matanya bahkan berapi-api. Tubuhnya terangkat. Kakinya tidak menginjakkan tanah. Ia terbang!

"Kau melukainya," suaranya berubah dari lembut menjadi tegas dan keras. "MATILAH KAU!"

Warren juga ikut membantu Aldrich dalam mengatasi penyerangan di perbatasan barat. Dan merupakan suatu kesalahan besar dengan dilepaskannya sesuatu yang liar dalam diri cucunya itu. Jiwa pembunuh.

Hal baiknya, itu suatu keuntungan bagi Warren dan Elle. Rasa lelah Elle saat latihan akan berkurang. Hal buruknya, tidak ada cara untuk mengurung jiwa pembunuh Elle. Dengan kata lain, hal itu tidak akan kembali seperti semula.

"Avada Kevadra." desis Elle.

Tidak disangka oleh Warren, Elle akan mengatakan mantra itu. Mantra kutukan tak termaafkan, mantra pembunuh. Salah satu dari tiga mantra kutukan mematikkan.

Tiba-tiba, kilatan cahaya berwarna hijau muncul secara bersamaan dengan jatuhnya manusia serigala yang melukai Aldrich, tergeletak tak bernyawa.

Warren melongo. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kondisi saat ini. Yang jelas, Elle semakin hari semakin kuat. Bahkan mantra kutukan yang setahunya hanya dapat diucapkan oleh penyihir terkuat atau pemimpin. Jika dugaannya benar, berarti kekuatan sang leluhur mereka telah memilih orang yang tepat.

Dalam sekejap, dirinya kembali normal seperti semula. Tak lupa dengan  sang alpha, semuanya langsung berbondong-bondong menghampirinya dan bergegas membawanya ke rumah sakit.

Lantas para dokter bersiap-siap. Elle memeluk tubuh Warren seerat mungkin. Ia tak henti-hentinya menangis. Ia tidak bisa berpikir jernih, hal-hal buruk selalu menghantuinya. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Takut. Satu kata yang mendeskripsikan semuanya.

Elle menyalahkan dirinya sedari tadi. Operasi memakan banyak waktu. Baginya, ini adalah hal yang terburuk setelah kematian orangtuanya. Ia benci menunggu, apalagi saat keadaan seperti ini.

Sekitar lima dokter keluar dari ruangan tersebut. Dengan serta-merta Elle menghampiri mereka. Ia benar-benar ingin berteriak sekarang ini.

"Bagaimana?" Tanyanya panik.

Wajah para dokter itu sperti takut, khawatir, gelisah. Mereka terlalu takut untuk buka suara. Akhirnya, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk mengatakan yang sejujurnya.

"Maaf, Luna. Kami sudah berusaha, tapi takdir berkata lain..."

Dan mimpi buruknya menjadi nyata.

End
.
.
.
.
.
.
.
Becanda sumpah :v
Tunggu kelanjutannya~~
Dadahh...
Happy Sunday ! :)

Falling In Love With An AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang