44

5K 151 30
                                    

"Ini sudah larut malam. Sebenarnya siapa yang kita tunggu, Warren?" tanya Jonathan bersamaan dengan tubuhnya yang berganti posisi menjadi berdiri. Bokongnya sudah merasa tak nyaman karena sedari tadi mereka menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Warren dengan anteng menjawab, "Seorang kawan lama. Bersabarlah, hanya dia yang bisa membantu kita, Jo."

Warren ikut berdiri dan melakukan sesuatu. Sepertinya, dia sedang memastikan kedatangan kawan yang dia maksud melalui penglihatan. "Dia di sini." Sepersekian detik kemudian nampak seorang wanita berperawakan tinggi hampir sama dengan tinggi tubuh Warren.

"Quinzel, lama tak jumpa." derap langkah Warren mulai menuju kepada figur wanita tersebut.

"Kau masih terlihat tampan seperti dulu, Warren." wanita pemilik nama Quinzel itu menyambut pelukan hangat Warren dengan tangan yang juga terbuka.

"Di mana Alpha yang sekarat itu?" tanya Quinzel setelah melepas dekapan Warren.

"Ikut aku."

Warren dan seluruh penghuni ruang tamu berbondong-bondong  pergi ke kamar Aldrich. Kondisinya semakin memburuk dan Quinzel adalah harapan mereka satu-satunya.

Tanpa mengetuk, Warren lantas membuka pintu. Di sana terdapat Aldrich yang terbaring kaku tanpa pergerakan sedikitpun dan Elle yang setia menemaninya, menggenggam tangannya dan berharap Aldrich akan memanggil namanya.

"Elle, ini Quinzel. Dia pembuat sekaligus penemu ramuan-ramuan. Dia kawan lamaku." ucap Warren, memperkenalkan tamu mereka.

Tanpa basa-basi lagi, Quinzel mengambil sesuatu dari tas kecilnya yang dia bawa. Sebuah botol kecil yang bercahaya dengan isi yang berwarna biru terang di dalamnya.

"Buat dia meneguknya sampai habis." Quinzel menyuguhkannya pada Elle.

Elle meraih suguhannya lalu bertanya, "Apa ini?"

"Air liur Banshee. Itu pemulih yang sangat manjur."

Elle membuat Aldrich berubah posisi hampir setengah duduk dengan menyandarkan kepalanya di tangannya, setelah itu meminumkan ramuan tadi pada Aldrich.

"Sekarang biarkan dia beristirahat."

***

Sean tertawa lepas ketika mendengar kabar buruk yang menjadi kabar sukacita bagianya. Sampai-sampai, pundaknya naik-turun karena bergelak tawa dan dia pun bertepuk tangan seperti sedang mendengar lelucon jenaka.

"Si bodoh itu benar-benar mati? Hahaha!"

Morgana melihat ke arah Sean dengan seringaian. Morgana tidak tahu siapa, yang ia tahu kalau Sean tergelak tawa karena musuhnya telah mati untuk mempermudah penyerangan mereka.

"Jadi, kapan kita akan memulai peperangan ini, Sean? Aku sudah tidak sabar untuk mengotori tanganku dengan darah. Apalagi darah penyihir fortior." tanya Morgana.

"Sebentar lagi, bersabarlah Morgana."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Falling In Love With An AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang