Rindu

1.2K 95 33
                                    

Sore ini Jakarta di guyur hujan lagi yang menimbulkan macet di sekitar kawasan Kemang, rintikan hujan terus jatuh hingga tetap terdengar walaupun musik dari mobil sedang di mainkan. Playlist Nata sudah terulang untuk kedua kalinya tapi saya masih sibuk menatap ke arah jalanan. Tubuh saya lesu tidak sanggup melakukan apapun. Bahkan untuk menyapa lelaki disamping saya ini saja tidak mampu. Sedangkan lelaki ini sibuk mengikuti alunan lagu dan sedikit bersenandung. Sampai saya tidak sadar kalau ia sedari tadi memperhatikan saya.

"Hm??" Gumamku sambil menegakan posisi duduk. Nata menatap saya tajam tapi tangannya masih tetap di kemudi.

"Bukannya lo yang kemaren ngebet banget minta gue balik hari ini ya?"

"Hm"

Sebenarnya saya merasa bersalah menjawabnya hanya dengan gumaman tidak jelas seperti tadi, ditambah lagi ia baru saja menyetir Bandung- Jakarta hanya untuk menemui saya.

"Terus? Udah gini aja?"

"Ya mau gimana?"

"Coba lo pikir deh"

"Lagi gak bisa mikir" Jawabku sekenanya.

Sekarang Nata melajukan Cr-v putihnya karena kendaraan di depannya sudah melaju sebentar kemudian ia kembali menatap saya.

"Kenapa sih?" Ia menuntut.

Demi apapun, saya paling tidak suka jika Nata sudah bertanya kenapa karena bisakah ia tidak kritis sehari saja? Karena bukan Nata kalau ia tidak menuntut. Setiap kata "kenapa" yang keluar dari mulutnya akan berakhir pada pertanyaan-pertanyaan yang saya juga gak habis pikir dia dapat dari mana. Apalagi di tambah hari ini yang dibuat kacau seharian oleh client yang tak hentinya menuntut ini-itu dan sekarang haruskah pacar saya sendiri ikut menuntut? Saya tidak sanggup.

"Gak apa"

"Gak mau cerita?"

Well, ini yang buat saya gak bisa lepas dari dia. Nata selalu menuntut tapi tidak pernah memaksa secara terang- terangan ia selalu mendorong saya untuk cerita tentang apapun itu dengan perlahan namun pasti meskipun saya sedang tidak dalam mood yang baik. Dan yang saya tidak habis pikir saya pasti luluh dan menceritakan segalanya.

"Bukan gitu. Gue capek, Nat"

"Gue juga capek"

"Gue lebih capek"

"Capek kenapa?"

Saya menarik nafas kemudian saya menatapnya lurus yang selanjutnya saya buang pandangan saya ke arah kanannya dan mulai mengatur kata yang saya akan keluarkan kepadanya.

"Seharian ini gue dapet komplain client"

"And then?"

"Ya gue cuma capek aja. Gue udah kasih effort ke client terus masih aja ada yang salah. Capek"

"Wajar dong. Mereka pasti akan terus nuntut sampe dapet yang sempurna"

"Kaya lo"

"Kok ngegas?"

"Tauah"

"Hehe yaudah gausah bahas kantor dong"

"Ya siapa juga yang mau bahas"

"Abis lo cemberut gitu. Lo gak seneng apa gue nyetir jauh - jauh dari Bandung buat lo. Terus lo kaya gitu"

"Maafin"

Nata tersenyum yang kemudian mengusap ujung kepala saya, entah getaran dari mana tapi perlahan - lahan mood saya membaik. Saya tersenyum sedikit.

"Mau makan dulu gak?"

"Terserah"

"Gak nerima jawaban terserah" Kata Nata meniru ucapan yang selalu saya ucapkan setiap ia jawab pertanyaan saya dengan kata 'terserah'

"Iya iya...hm kwetiaw aja yuk"

"Yuk"

"Tapi gue pengen mcd"

"Jadi mcd atau kwetiaw?"

"Bakso"

"Ok bakso"

"Nat...."

"Apa?"

"Gue mau indomie buatan lo aja"

"Jadi lo mau apanih?"

"Mau indomie buatan lo"

"Kalau guenya mau gak?"

"Yaudah"

"Yaudah apa?"

"Yaudah mau" kata saya sambil tertawa kecil setelah sadar kalau Nata sedang menggoda saya.

Saya tidak ingat kapan mulainya mencintai sosok laki-laki berambut hitam yang sedang duduk dibalik kemudi ini. Sama seperti saya tidak ingat kapan terakhir kali saya benci pada laki- laki ini karena nyatanya saya tidak pernah tidak cinta terhadapnya sedetik pun.

Saya ingat semalam saya menangis karena ingat Nata. Saya mencoba tidak menghubunginya selama ia mengurusi pembukaan cabang distronya di Bandung, berharap tidak menganggu pekerjaannya selama di sana tapi nyatanya saya tidak mampu dan berakhirlah semalam saya menghubunginya dan memintanya untuk pulang karena saya jamin kalau rindu ini saya tahan lebih lama nantinya saya tidak mampu mengenali sosoknya lagi.

Nata memutar lagi lagu di playlistnya yang kemudian saya besarkan volume cd player di mobil.

"Eh iya siapa yang kemarin bilang kalau ketemu gue pengen peluk sampe gak dilepas?"

Saya cuma memasang tampang 'huh?' Saya ingat saya mengetik itu semalam di dalam ruang obrolan kami di aplikasi whatsapp tapi saya tetap mau jual mahal di depan Nata. Karena Mine memang begitu. (Hehe)

"Bukan gue"

"Masa?"

"Siapa ya?"

"Katanya kangen?"

"Nat...."

"Kangen gak?" Sekarang matanya melirik ke saya. Memang salah satu keahlian Nata adalah menggoda gadis labil seperti saya.

"Kangen" balas saya cepat.

"Apa? Gak denger"

"Kangen" Kata saya memperlambat dari nada sebelumnya.

"Gak denger. Yang jelas dong"

"Kangennnnnnnnnnnnnnnnnnnnn"

"Nah gitu kan jelas. Jadi gak sia- sia Bandung - Jakarta nih"

"Iya Nat iya"

"Kok jutek? Gak dibuatin ya Indomienya"

"Jangan huhu gue laper"

"Bilang 'kangen sayang' dulu tapi"

"Gak ah"

"Yaudah balik nih ya ke Bandung"

"Kangen sayang. Elah"

"Gak pake elah berapa bu?"

"Kangen sayang"

Dan kemudian sore berlalu begitu cepat meninggalkan satu kenangan lagi tentang Nata di memori saya. Tentang Nata yang selalu saya ingat ketika saya rindu. Yang membuat segalanya jadi candu.

Seorang NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang